Oleh: Yons Achmad(Kolumnis, tinggal di Depok)
Sekian tahun lalu. 29 Maret 1998, tonggak sejarah pergerakan. Anak-anak muda, aktivis masjid kampus mendirikan apa yang dikenal dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Sebuah organisasi ekstra kampus yang turut serta tumbangkan rezim Soeharto era itu. Tak lama setelahnya, 9 Agustus 1998, bersama dengan para aktivis yang dikenal dengan “Gerakan Tarbiyah”, mendirikan Partai Keadilan. Sayang tak cukup mengembirakan di parlemen. Pada pemilu berikutnya, berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan terus eksis sampai kini. Belakangan, beberapa petinggi (elit) PKS berpisah jalan, mendirikan Partai Gelora.
Periode selanjutnya, KAMMI tetap berdiri sampai sekarang. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga terus kokoh dengan kepala tegak. Begitu juga Partai Gelora. Semula, kiprah politik praktis alumni KAMMI yang lebih populer disebut KAKAMMI hanya “melulu” di PKS. Seiring perjalanan, beberapa alumni KAMMI “Melompat” ke partai lain semisal PAN bahkan Golkar. Sampai, 28 Oktober 2019. 99 orang yang tentunya didominasi mayoritas mantan kader PKS mendeklarasikan partai baru, Partai Gelora (Gelombang Rakyat Indonesia). Fenomena ini, mengawali isu dan diskusi tentang “Diaspora” alumni KAMMI
Politik “Diaspora”KAKAMMI
Jujur, ide tentang optimasi potensi “diaspora” KAKAMMI ini terinspirasi oleh ide optimalisasi potensi diaspora yang dipublikasikan pada sebuah media dari komunitas yang menamakan diri sebagai Indonesian Diaspora Network-United. Dengan penyesuaian secukupnya, saya pergunakan untuk membaca “Diaspora” alumni KAMMI. Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2017 dan Kongres Diaspora Indonesia, diaspora Indonesia sederhananya adalah masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Dalam pengertian yang lebih sempit lagi, yang saya maksud “Diaspora” KAKAMMI di sini adalah tak hanya misalnya untuk menyebut alumni KAMMI yang berkiprah di partai selain PKS. Tetapi, juga alumni KAMMI yang tak berkiprah secara langsung dalam struktur PKS, tapi berkiprah dalam beragam profesi dan jalan hidup di luar kepartaian.
Singkat cerita, politik “Diaspora” KAKAMI yang saya maksud adalah kiprah alumni KAMMI di beragam sektor dan bidang-bidang penting baik di kepartaian maupun non kepartaian tanpa kecuali.
Optimalisasi Potensi
Ide ini merujuk pada buku “Developing a Road Map for Engaging Diasporas in Development” dan studi dari Migration Policy Institute, di mana setidaknya ada empat langkah yang perlu diambil dalam pemanfaatan diaspora (tentu dengan penyesuaian seperlunya). Diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Pendataan “diaspora” KAKAMMI. Tentu sebuah pendataan yang lengkap dan akurat menjadi langkah pertama yang harus dilakukan. Database “diaspora” KAKAMI ini menjadi kunci dalam memetakan talenta “diaspora” KAKAMMI baik di Indonesia maupun di luar negeri berdasarkan keahlian, industri, lokasi, dan kesediaan mereka untuk berkontribusi pada agenda Gerakan Bersama.
Kedua, berkomunikasi dan berkolaborasi dengan badan pemerintah, swasta, dan pemimpin industri, pimpinan partai, untuk mengidentifikasi kebutuhan talenta yang dapat diisi oleh “diaspora” KAKAMMI . Dengan kata lain, kita perlu memahami apa needs-nya di Tanah Air maupun di luar negeri. Dan seberapa besar kebutuhan tersebut bisa dipenuhi oleh “diaspora” KAKAMI. Inilah bentuk sinergi konkrit Gerakan.
Ketiga, berikan apresiasi. Apresiasi bagi “Diaspora” KAKAMMI ini tentu tak melulu pada penghargaan yang sifatnya adalah finansial. Apresiasi dalam bentuk penghargaan dalam “Selembar Kertas” atau “Seremoni” sederhana diperlukan untuk menunjukkan apresiasi konkrit atas keberhasilan dan kiprahnya dalam bidang tertentu. Tak lupa, berikan akses yang cukup agar para “Diaspora” KAMMI ini bisa meningkat karir dan kiprahnya dikemudian hari.
Keempat, fasilitasi forum berkomunikasi “diaspora” KAKAMMI. Tampilkan talenta hebat tersebut untuk bercerita perihal potensi peluang yang ada, mulai dari kolaborasi penelitian, fellowship, hingga pekerjaan di sektor strategis. Komunikasi ini juga bertujuan untuk menjelaskan peluang-peluang yang baik di Tanah Air maupun di luar negeri. Di sini, akan mengalir “brain circulation”, yang bermanfaat dalam menciptakan aliran pengetahuan, teknologi, dan keterampilan.
Sejatinya tidak perlu membentuk badan atau lembaga baru untuk mengelola hal ini. Cukup sebuah tim kecil yang mampu berdiplomasi dan bergerak lincah dapat menjangkau “diaspora” KAKAMI bertalenta serta berinteraksi dengan para pemangku kepentingan di Indonesia dan luar negeri yang bisa mensinergiskan talenta tersebut. Konsep ini mirip dengan “matchmaking dan headhunting”, tetapi ditujukan untuk kepentingan agenda Gerakan Bersama.
Dengan langkah-langkah di atas, kita dapat mengoptimalkan potensi “diaspora” KAKAMMI bukan hanya di bidang politik semata, tetapi juga di sektor-sektor vital lainnya. Dengan demikian, “diaspora” KAKAMI dapat menjadi aset berharga yang berkontribusi signifikan terhadap kemajuan umat. Saya kira, usaha-usaha di atas cukup masuk akal dan tak sulit untuk dikerjakan. Jika kita mau. []