Oleh Tamsil Linrung, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Ibadah haji merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang memiliki karakteristik unik. Sebab Ibadah Haji tidak semata-mata bersifat administratif atau teknis, melainkan merupakan pelayanan keagamaan yang terikat oleh ketentuan syariat, tuntutan spiritualitas, serta batasan fisik-geografis yang tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh negara pengirim jamaah. Dalam kerangka kebijakan publik, penyelenggaraan ibadah haji merupakan bentuk pelayanan lintas negara yang menuntut integrasi antara dimensi diplomasi luar negeri, manajemen risiko, serta akuntabilitas anggaran dan birokrasi.
Oleh karena itu, keberhasilan dalam penyelenggaraan haji tidak dapat hanya dinilai dari terpenuhinya kuota atau kelancaran teknis semata, melainkan juga dari kemampuan negara dalam menyinergikan regulasi nasional, protokol internasional, serta nilai-nilai keagamaan yang melekat pada ibadah tersebut.
Jumlah total jamaah haji Indonesia tahun ini tercatat sebesar 221.000 orang. Angka ini merupakan kuota terbesar dalam sejarah pelaksanaan haji Indonesia. Dari jumlah tersebut, kuota haji reguler sebanyak 203.320 jamaah telah terserap dengan sangat optimal, menyisakan hanya 45 kuota yang tidak terisi. Capaian ini mencerminkan efektivitas proses manajemen kuota dan kesiapan sistem pengganti dalam skema pelimpahan.
Sebanyak 127.000 jamaah mendapatkan manfaat dari layanan fast track di embarkasi. Skema ini merupakan bentuk kemajuan pelayanan berbasis diplomasi bilateral dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, yang secara langsung berdampak pada pengurangan waktu dan tekanan fisik jamaah di titik kedatangan. Dalam aspek konsumsi, distribusi logistik yang dilaksanakan oleh petugas mencakup 17.437.070 boks makanan di Makkah, 3.975.000 boks di Madinah, dan 1.332.000 boks saat fase Arafah–Muzdalifah–Mina. Jumlah ini menunjukkan perencanaan rantai pasok yang akurat serta kemampuan logistik dalam skala masif.
Penerapan skema murur bagi 51.377 jamaah menjadi contoh konkret bagaimana regulasi fikih diterjemahkan secara kontekstual dalam kebijakan negara. Skema ini memungkinkan jamaah yang termasuk kategori lansia dan risiko tinggi untuk tidak berhenti di Muzdalifah, melainkan langsung diarahkan ke Mina, dengan tetap memenuhi ketentuan hukum fikih terkait mabit. Pendekatan ini terbukti mampu mengurangi kelelahan serta mencegah potensi gangguan kesehatan akut pada jamaah lanjut usia.
Secara keseluruhan, proses layanan haji berlangsung dalam kerangka koordinasi lintas sektor yang berjalan baik. Kementerian Agama mengedepankan transparansi dalam proses pengadaan layanan, termasuk pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak tahap awal perencanaan. Pengawasan ketat terhadap proses seleksi petugas, distribusi akomodasi, dan penyediaan konsumsi menjadi indikator adanya tata kelola yang berbasis akuntabilitas.
Kinerja Kementerian Agama dalam konteks diplomasi luar negeri juga patut dicatat. Tambahan kuota sebanyak 20.000 jamaah dari otoritas Arab Saudi merupakan hasil dari kerja sama yang dibangun secara sistemik dan berkelanjutan. Pemerintah Arab Saudi melalui Menteri Haji dan Umrah menyampaikan penghargaan terhadap disiplin dan ketertiban jamaah Indonesia. Ini merupakan bentuk pengakuan internasional terhadap keberhasilan penyelenggaraan haji Indonesia, khususnya dalam aspek regulasi dan kepatuhan jamaah.
Saya menilai bahwa seluruh capaian ini merupakan bagian dari proses panjang pembenahan sistem manajemen haji yang telah dimulai secara bertahap. Pendekatan berbasis data, pelayanan yang terukur, serta penguatan sistem monitoring dan evaluasi telah menciptakan standar baru dalam penyelenggaraan ibadah haji nasional. Keberhasilan ini harus dijaga melalui dokumentasi sistematis dan peningkatan kualitas SDM secara berkelanjutan.
Saya mendorong agar capaian penyelenggaraan haji tahun 2025 ini menjadi titik tolak bagi peningkatan kualitas layanan keagamaan lainnya. Pendekatan berbasis pelayanan, bukan sekadar administrasi, harus menjadi fondasi dalam perumusan kebijakan sektor keagamaan secara menyeluruh. Capaian teknis yang telah diperoleh harus dibarengi dengan penguatan instrumen regulasi, tata kelola anggaran, dan peningkatan literasi jamaah.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, telah menunjukkan bahwa pelayanan terhadap umat dapat dilakukan dengan prinsip efisiensi, kejujuran, dan ketepatan operasional. Untuk itu, saya menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Menteri Agama Republik Indonesia atas pencapaian yang konkret dan terukur dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini. Semoga capaian ini dapat dilanjutkan dan ditingkatkan pada tahun-tahun berikutnya.