Ismawan Amir, M.Sc
Graduate School Istanbul Commerce University, Turkiye
Riuh berita soal Menteri Bahlil yang meragukan nasionalisme mereka yang meninggalkan Indonesia. Orang-orang yang merantau ke luar negeri, mencari kerja, membangun karier, atau merintis usaha demi hidup yang lebih baik.
Kawan saya, diaspora di Turkiye, punya usaha UMKM
geram pada pernyataan Itu. Kecewa. Ia tumpahkan di akun instagramnya. Selama ini, ia berusaha promosikan budaya Indonesia namun dianggap sepele. Bahkan jika mereka dipersulit pemerintah setempat, dipalak preman lokal, jarang dapat advokasi.
Di kedai yang ia rintis. 80 persen karyawannya orang Indonesia. Cukup tertatih karena aturan soal pekerja sangat ketat. Soal izin tinggal, izin bekerja, ia pastikan aman sebelum pekerja melayani tamu. Bolak-balik kantor pemerintah untuk urusan surat-surat. (Yang pernah tinggal di Turkiye paham soal urusan surat-surat)
Sebab sebagai restoran asing, mereka tetap dipantau oleh polisi lokal. Meski begitu, jalan itu dianggap usaha mengenalkan budaya Indonesia ke dunia internasional.
Mungkin Pak Menteri kurang jauh melangkah. Jangan tanyakan nasionalisme pada diaspora yang hidup di negeri orang. Karena sejauh apa pun mereka pergi, kampung halaman tetap ada di hati.
Saya mengenal banyak diaspora di Turki, tempat saya belajar dalam dua tahun terakhir. Mereka bukan sekadar perantau. Mereka aktif berkumpul, saling menguatkan, dan menjaga. Setiap bulan ada pertemuan, berbagi cerita apa yang dihadapi termasuk berita tentang tanah air.
Saat 17 Agustus tiba, mereka berkumpul, mengibarkan merah putih, menyanyikan Indonesia Raya. Perayaan 17 an ini momen yang sangat ditunggu setiap tahun. Diaspora yang sudah beranak-pinak, tumpah ruah bersama keluarganya. Sehari jadi orang Indonesia di tanah rantau.
Saya mengamati, diaspora yang sukses menjadi jembatan bagi orang Indonesia yang mau bekerja. Jadi bos di perusahaan sendiri. Mereka merintis, membuka jalan.
Para pekerja, ada yang tiap bulan menukarkan uangnya. Dikirim ke kampung untuk keluarganya. Ada juga yang tiap tiga bulan. Ada yg dalam bentuk barang-barang. Bahkan ada yang mengajak satu kampungnya liburan. Kemana saja melangkah, hatinya di kampung.
China. Sudah lama negara itu memahami kekuatan diaspora. Diaspora terbesar di dunia, berjumlah lebih dari 10 juta jiwa, bahkan 60 juta jika dihitung dengan keturunannya.
Mereka bukan hanya pekerja di luar negeri, tetapi juga investor, inovator, dan penghubung ekonomi negaranya.
Di setiap negara punya China Town. Cepat atau lambat. Di Turkiye, lokasinya di Dolpadere, kawasan miskin, yang mulai di ubah jadi kota pecinan dengan gelombang investasi dan pariwisata dari China.
Bahkan di negara arab, Arab Saudi ada pecinan. Indonesia juga nanti punya kawasan sendiri.