Oleh : DR Adi Suryadi Culla MA ( Dosen Pasca Sarjana, Ilmu Poitik Fisip Unhas)
Revisi Undang-Undang Kejaksaan tengah menjadi perbincangan hangat. Di satu sisi, revisi ini diharapkan dapat memperkuat kinerja dan kewenangan Kejaksaan Agung dalam penegakan hukum. Namun, di sisi lain, beberapa pasal dalam revisi tersebut menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan dan melemahnya independensi lembaga penegak hukum ini. Perlu analisis kritis untuk melihat dampak jangka panjang dari revisi ini terhadap sistem hukum Indonesia.
Salah satu pasal yang paling kontroversial adalah pasal 8 ayat 5 yang mengatur bahwa proses hukum terhadap jaksa harus melalui izin Jaksa Agung. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai independensi dan akuntabilitas Kejaksaan. Jika Jaksa Agung berasal dari kalangan politikus atau memiliki keterkaitan dengan kepentingan politik tertentu, pasal ini berpotensi menciptakan celah bagi intervensi dan manipulasi proses hukum. Bayangkan, seorang jaksa yang menangani kasus yang melibatkan pihak-pihak berkuasa akan kesulitan untuk bertindak objektif jika memerlukan izin dari Jaksa Agung untuk proses hukum lebih lanjut. Ini bukan hanya akan melemahkan kepercayaan publik, tetapi juga mengikis pilar penting dalam penegakan hukum, yaitu prinsip independensi.
Selain itu, perlu dipertimbangkan pula kewenangan baru yang diberikan kepada Kejaksaan, seperti penggunaan senjata api dan ekspansi kewenangan di bidang intelijen. Meskipun tujuannya mungkin untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum, perlu dikaji secara mendalam potensi penyalahgunaan wewenang tersebut. Peningkatan kewenangan tanpa diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang kuat justru akan berisiko meningkatkan potensi pelanggaran hukum dan ketidakadilan. Sistem check and balances antar lembaga penegak hukum harus diperkuat, dan peran serta masyarakat sipil dalam mengawasi kinerja Kejaksaan tetap menjadi hal yang krusial.
Kekhawatiran lain timbul dari potensi sentralisasi kekuasaan yang berlebihan. Revisi UU Kejaksaan ini, jika dilihat dari beberapa pasal kontroversial, menunjukkan kecenderungan menuju sentralisasi kekuasaan yang terpusat di tangan Jaksa Agung. Hal ini berpotensi mengaburkan garis tanggung jawab dan memperlemah mekanisme pengawasan internal. Sistem yang terlalu terpusat rentan terhadap manipulasi dan korupsi, serta dapat menghambat proses reformasi hukum yang selama ini terus diupayakan.
Oleh karena itu, revisi UU Kejaksaan perlu dikaji ulang secara komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, termasuk para ahli hukum, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil. Tujuan utama revisi haruslah memperkuat penegakan hukum, bukan malah melemahkan independensi dan akuntabilitas Kejaksaan. Perlu ada jaminan bahwa revisi ini tidak akan menciptakan celah bagi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Penguatan sistem pengawasan dan mekanisme check and balances yang efektif menjadi kunci untuk memastikan bahwa revisi UU Kejaksaan benar-benar bermanfaat bagi penegakan hukum yang adil dan transparan di Indonesia. Tanpa itu, revisi ini justru akan menjadi bumerang yang mengancam sendi-sendi demokrasi dan keadilan.