Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Berita

Tanah Hibah yang Ditarik Kembali: Antara Niat Baik dan Niat Balik

32
×

Tanah Hibah yang Ditarik Kembali: Antara Niat Baik dan Niat Balik

Sebarkan artikel ini

Oleh: Raffi Anak Bangsa

Hibah sejatinya lahir dari niat baik. Ia bukan transaksi, bukan pula bentuk investasi, melainkan ekspresi keikhlasan untuk melepaskan sesuatu tanpa pamrih. Tapi di negeri kita, niat baik kadang berumur pendek, sependek waktu ketika kepentingan berubah arah. Maka, hibah bisa berubah menjadi “niat balik”.

Example 500x700

Kasus tanah hibah yang kini melibatkan PT Hadji Kalla dan GMTD (Gowa Makassar Tourism Development) menjadi contoh menarik. Tanah yang dulu dihibahkan, kini ditarik kembali. Padahal secara hukum perdata maupun hukum Islam, hibah yang telah diserahkan dan diterima tidak bisa ditarik kembali, kecuali ada syarat yang jelas dalam akta hibah atau ditemukan unsur penipuan dan wanprestasi berat.

Langkah PT Hadji Kalla yang melaporkan kasus ini ke Polda Sulawesi Selatan menandakan bahwa jalur kekeluargaan telah mentok. Namun, perlu dicatat bahwa jalur pidana bukanlah arena utama sengketa hibah, sebab ini lebih tepat masuk ke wilayah hukum perdata. Sengketa hibah adalah soal hak, bukan kejahatan. Maka, mengubah niat baik menjadi laporan polisi bisa jadi malah memperkeruh citra kedua belah pihak.

Lebih penting dari siapa yang benar secara hukum adalah bagaimana menjaga martabat moral dan sosial dari niat awal pemberian itu. Dalam budaya Bugis-Makassar, ada prinsip “siri’ na pacce” harga diri dan solidaritas. Sekali janji diucap, menariknya kembali sama saja dengan menghapus kehormatan sendiri.

Selain persoalan moral, ada juga pelajaran administratif di sini. Banyak hibah di Indonesia yang dilakukan hanya dengan “niat baik” tanpa dokumen kuat. Akibatnya, ketika terjadi perubahan kepentingan, niat suci itu berubah menjadi sengketa panjang. Padahal, andai sejak awal dituangkan dalam akta yang sah dan disertai klausul yang tegas, tak perlu ada ruang tafsir ganda.

Kita tentu berharap, kasus seperti ini menjadi pembelajaran publik. Bahwa dalam dunia usaha, komitmen dan kejelasan hukum harus berjalan seiring dengan keikhlasan. Karena hibah yang tak didasari kejelasan akan mudah tergelincir menjadi perebutan. Dan pemberian yang tidak dilandasi komitmen moral akan mudah berubah menjadi klaim.

Pada akhirnya, tanah hibah yang ditarik kembali bukan hanya soal hukum, melainkan soal kejujuran niat. Di sinilah kita diuji, apakah benar kita memberi karena ikhlas, atau karena berharap kembali?

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *