Ambon, 25 Agustus 2025 – Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Provinsi Maluku guna menginventarisasi materi penyusunan Pertimbangan DPD RI terhadap Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2026. Kunjungan ini menjadi wadah strategis bagi DPD RI untuk mendengarkan langsung aspirasi dari daerah, terutama terkait tantangan pembangunan, kebijakan fiskal, dan kebutuhan spesifik yang dihadapi oleh Provinsi Maluku.
Pertemuan berlangsung di Kantor Gubernur Maluku, dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, termasuk Wakil Ketua DPD RI Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Tamsil Linrung, yang memimpin delegasi Komite IV DPD RI. Turut hadir Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, jajaran Forkopimda, Kepala Kanwil DJPb Maluku, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Maluku, perwakilan BPKP, KPPN, serta para bupati/wali kota se-Maluku.
Dalam pemaparannya, Kanwil DJPb Maluku mengungkapkan bahwa alokasi APBN 2025 untuk Maluku mencapai Rp20,48 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp8,32 triliun dan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp12,16 triliun. Namun, realisasi belanja K/L hingga semester I 2025 baru mencapai 36,88%, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2024. Belanja modal dan barang/jasa bahkan mengalami kontraksi lebih dari 30%.
Di sisi transfer ke daerah, penyaluran TKD mencapai Rp5,44 triliun atau 44,72% dari alokasi. Namun, terdapat kendala serius pada penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik yang baru terealisasi 0,30%. Kasus keterlambatan penyaluran Dana Desa dan DAK Fisik akibat kendala administrasi, cuaca, serta terbatasnya infrastruktur keuangan juga masih terjadi di beberapa daerah.
Wakil Ketua DPD RI, Tamsil Linrung, menyoroti adanya “anomali fiskal” di Maluku, di mana kontribusi pendapatan negara dari pajak tumbuh signifikan, tetapi realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) sangat rendah, khususnya DBH PPh yang hanya terealisasi 5,09% hingga Agustus 2025.
Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, menekankan bahwa kapasitas fiskal daerah masih terbatas, sementara mandatory spending untuk pendidikan (lebih dari 30% APBD) dan kesehatan (Universal Health Coverage/UHC lebih dari 95%) menyisakan ruang sempit bagi belanja strategis. Maluku juga menghadapi tantangan geografis berupa keterisolasian wilayah, keterbatasan logistik, dan ketergantungan pangan dari luar daerah.
Bank Indonesia (BI) Maluku menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku pada triwulan II 2025 hanya mencapai 3,39% (year-on-year/yoy), melambat dibandingkan triwulan I yang sebesar 5,02%. Perlambatan ini terjadi akibat penurunan kinerja sektor administrasi pemerintahan di tengah rendahnya realisasi APBN. BI menekankan perlunya akselerasi pariwisata, penguatan ketahanan pangan, digitalisasi UMKM, serta percepatan pembangunan Maluku Integrated Port sebagai katalis pertumbuhan ekonomi.
Dalam sambutannya, Wakil Ketua DPD RI, Tamsil Linrung, menegaskan bahwa DPD RI akan memperjuangkan kepentingan Maluku dalam RAPBN 2026. “Dengan potensi kelautan, perikanan, dan posisi strategis di poros timur Indonesia, Maluku seharusnya menjadi lumbung ekonomi baru bangsa. Namun, jika realisasi APBN terus rendah, potensi itu hanya akan menjadi retorika,” tegasnya.
DPD RI juga menekankan agar pemerintah pusat memberikan perhatian khusus pada beberapa hal:
1. Percepatan realisasi belanja modal untuk infrastruktur dasar di Maluku.
2. Perbaikan tata kelola penyaluran TKD dan Dana Desa agar lebih tepat waktu.
3. Peningkatan alokasi fiskal untuk program ketahanan pangan dan pendidikan di daerah kepulauan.
4. Dukungan penuh bagi pengembangan sektor perikanan, pariwisata, dan UMKM.
Sebagai bagian dari agenda kunjungan, Komite IV DPD RI meninjau langsung program prioritas pemerintah, antara lain Dapur Sehat Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Sekolah Rakyat di Kota Ambon, untuk memastikan efektivitas belanja APBN di tingkat masyarakat.
Kunker DPD RI ke Maluku diharapkan menjadi titik balik dalam memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Aspirasi dari Maluku akan menjadi bahan penting dalam Pertimbangan DPD RI terhadap RAPBN 2026, dengan harapan agar kebijakan fiskal nasional menjadi lebih inklusif dan berpihak pada kebutuhan nyata daerah kepulauan.