oleh: Afiq Naufal
Di suatu malam yang sunyi, Umar bin Khattab berjalan menyusuri jalanan Madinah. Ia tidak berpakaian mewah, tidak diiringi pengawal, dan tidak pula membawa tanda kebesarannya sebagai seorang khalifah. Yang ia bawa hanyalah kegelisahan—sebuah perasaan yang tak membiarkannya tidur nyenyak ketika ia tahu masih ada rakyat yang lapar, masih ada tangisan yang tak terdengar oleh istana.
Di sudut kota, ia menemukan seorang ibu yang tengah memasak batu. Bukan karena ada resep baru yang ia coba, melainkan karena tak ada lagi yang bisa ia masukkan ke dalam panci untuk menghibur anak-anaknya yang kelaparan. Umar menangis malam itu. Bukan hanya karena kemiskinan ada di depan matanya, tetapi karena ia sadar bahwa kepemimpinan bukan soal berkuasa, melainkan soal memastikan bahwa setiap perut kenyang, setiap hati merasa aman, dan setiap orang bisa hidup dengan martabat.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa sebuah negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur—negeri yang baik dan mendapat ampunan Tuhan—bukan hanya tentang kemajuan fisik, tetapi juga tentang keadilan, kesejahteraan, dan integritas moral. Dalam konteks Indonesia, Tamsil Linrung melihat visi ini tercermin dalam kepemimpinan Prabowo Subianto.
Di mata Tamsil Linrung, Prabowo Subianto adalah sosok yang memiliki visi ini. Ia melihat dalam diri Prabowo bukan hanya seorang politikus, tetapi seorang pemimpin yang punya keberanian untuk membongkar apa yang selama ini dibiarkan berjalan, untuk menertibkan apa yang selama ini sengaja dibuat kacau.
Istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur berasal dari Surah Saba’ ayat 15, yang menggambarkan negeri Saba’ sebagai negeri yang subur dan makmur, dengan penduduk yang bersyukur kepada Allah. Negeri ini dianugerahi dua kebun di sebelah kanan dan kiri, simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, ketika penduduknya berpaling dari ketaatan, Allah mengganti kebun-kebun mereka dengan tanaman yang berbuah pahit, menunjukkan bahwa kemakmuran tanpa ketaatan dan syukur dapat berujung pada kehancuran.
Konsep ini menekankan bahwa kesejahteraan material harus diimbangi dengan ketaatan spiritual dan moral. Negeri yang ideal adalah yang memiliki sumber daya alam melimpah dan penduduk yang taat kepada Tuhan, menciptakan harmoni antara kemakmuran duniawi dan keberkahan ukhrawi.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Mengapa percakapan kita dipenuhi tentang korupsi yang merajalela, tentang hukum yang bisa dibeli, tentang ekonomi yang seolah tak pernah benar-benar berpihak pada rakyat?
Jawabannya bukan karena kita kekurangan sumber daya. Bukan pula karena kita tak memiliki orang-orang cerdas yang bisa membangun negeri ini. Masalahnya ada pada ketakutan—banyak orang yang tahu apa yang harus dilakukan, tetapi tak punya keberanian untuk melawan sistem yang telah mengakar.
Ekonomi Indonesia tak melesat bukan karena kita kurang cerdas, melainkan karena setiap langkah ke depan harus melewati begitu banyak perantara. Seorang pengusaha yang ingin membangun pabrik dihadapkan pada segunung izin yang hanya bisa dipermudah dengan ‘pelicin’. Seorang pejabat yang ingin bersih harus menghadapi tekanan dari mereka yang merasa kehilangan akses ke ‘jatah’. Seorang polisi yang jujur harus siap dimusuhi oleh koleganya sendiri. Semuanya karena penyakit korup yang mengakar mendarah daging.
Menurut data dari ACLC KPK, korupsi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat investasi, dan menurunkan kualitas sarana dan prasarana. Selain itu, korupsi juga menyebabkan inflasi akibat adanya mark-up biaya pada proyek pemerintah atau harga barang dan jasa yang diberikan kepada masyarakat.
Penelitian lain menunjukkan bahwa korupsi dapat menyebabkan larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, dan gangguan penanaman modal. Dampak-dampak ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman korupsi terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Negeri ini telah lama diculik oleh mafia. Mafia proyek, mafia hukum, mafia impor, mafia energi—mereka bukan sekadar oknum, mereka adalah sistem itu sendiri. Dan siapa yang cukup berani untuk berhadapan langsung dengan mereka?
Tamsil Linrung melihat bahwa Prabowo memiliki keberanian itu. Ia bukan pemimpin yang hanya ingin ‘menyenangkan semua pihak’. Ia tahu bahwa ketegasan adalah harga yang harus dibayar untuk perubahan. Dan ia tak ragu untuk menindak siapa pun—entah itu pengusaha, politisi, aparat, atau bahkan orang-orang di lingkaran terdekatnya—jika mereka terbukti mengkhianati negeri ini.
Tentu, kepemimpinan bukan hanya soal memukul meja dan memberikan hukuman. Negeri ini tidak bisa dibangun hanya dengan ketegasan, tetapi juga dengan kebijaksanaan.
Prabowo memahami bahwa dalam membangun sebuah bangsa, ia harus merangkul banyak pihak. Ia tak bisa hanya dikelilingi oleh orang-orang yang selalu sepakat dengannya, tetapi juga oleh mereka yang berani memberi kritik, yang bisa memberikan sudut pandang berbeda, yang bisa memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar yang terbaik untuk rakyat.
Namun, ada batas yang tak bisa dinegosiasikan. Jika ada yang ingin bergabung dalam pemerintahan untuk mencuri, ia tak akan dibiarkan. Jika ada yang datang dengan niat untuk memperkaya diri, ia harus disingkirkan. Dalam Islam, pemimpin yang baik adalah mereka yang mengelola amanah, bukan yang memperjualbelikannya. Rasulullah sendiri bersabda:
“Apabila urusan (kepemimpinan) diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhari)
Dan kehancuran itu sudah lama kita lihat. Negeri ini terlalu lama dikelola oleh mereka yang tidak memiliki keahlian tetapi punya akses ke kekuasaan. Terlalu banyak jabatan yang diberikan bukan karena kompetensi, tetapi karena kesetiaan politik. Karena ponakan. Karena anak.
Prabowo ingin mengubah itu. Ia ingin memastikan bahwa yang berada di sekelilingnya adalah mereka yang benar-benar bisa bekerja. Dan jika ada yang bermain kotor, tak ada perlindungan untuk mereka.
Salah satu titik terlemah negeri ini adalah sistem hukumnya. Betapa banyak kasus yang tiba-tiba menghilang, betapa sering kita melihat orang yang bersalah justru bebas melenggang, sementara mereka yang tak punya kuasa harus menerima hukuman tanpa ampun.
Prabowo memahami bahwa tanpa hukum yang kuat, tidak ada pembangunan yang bisa berjalan dengan benar. Jika hukum masih bisa dipermainkan, maka kepercayaan publik akan terus runtuh. Jika keadilan masih bisa dinegosiasikan, maka rakyat akan selalu merasa tidak punya tempat di negeri mereka sendiri.
Dalam Islam, keadilan adalah fondasi utama sebuah masyarakat. Dalam Surah An-Nisa’ ayat 58, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil…”
Prabowo ingin memastikan bahwa hukum tidak lagi menjadi alat transaksi. Jika ada pejabat yang korup, ia harus dihukum. Jika ada aparat yang bermain mata dengan mafia, ia harus disingkirkan. Jika ada kepentingan yang ingin memperalat negara, ia harus dihentikan.
Tetapi sebesar apa pun kekuatan seorang pemimpin, ia tidak bisa bekerja sendirian. Tamsil Linrung menekankan bahwa masyarakat sipil harus menjadi bagian dari perubahan ini. Mereka tidak boleh hanya menunggu, tidak boleh hanya menjadi penonton.
Dalam teorinya tentang justice as fairness, John Rawls berargumen bahwa keadilan sosial harus menjadi prinsip utama dalam pengelolaan negara. Rawls membayangkan suatu original position di mana individu berada di balik veil of ignorance, yaitu suatu kondisi di mana mereka tidak mengetahui status sosial, ekonomi, atau atribut pribadi mereka. Dengan cara ini, setiap kebijakan yang diambil harus mempertimbangkan kepentingan mereka yang paling kurang beruntung dalam masyarakat.
Konsep ini selaras dengan gagasan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, di mana kesejahteraan harus merata dan tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite. Jika sebuah kebijakan hanya menguntungkan kelompok tertentu sementara mayoritas rakyat tetap dalam keterpurukan, maka kebijakan tersebut gagal mencerminkan prinsip keadilan.
Prabowo, dalam visi kepemimpinannya, diharapkan menerapkan prinsip serupa dalam kebijakan ekonominya. Salah satu bentuk konkret dari prinsip keadilan ini adalah konsep keranjang umum yang diusulkan Tamsil Linrung. Jika diterapkan dengan benar, pendekatan ini dapat memastikan bahwa setiap alokasi anggaran benar-benar menyentuh kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kelompok tertentu yang memiliki akses lebih besar terhadap kekuasaan.
Selain itu, dalam teori Rawls, difference principle menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika itu menguntungkan mereka yang paling miskin. Prinsip ini dapat menjadi dasar dalam reformasi ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial melalui kebijakan redistribusi yang adil dan efisien.
John Locke, dalam teorinya tentang kontrak sosial, berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari kehendak rakyat. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak dasar rakyat, termasuk hak atas kehidupan, kebebasan, dan properti. Jika pemerintah gagal melaksanakan tugasnya, rakyat memiliki hak untuk mengganti pemerintahan yang tidak efektif.
Gagasan Locke ini berkaitan erat dengan pandangan Tamsil Linrung tentang peran masyarakat sipil dalam pembangunan. Masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek pembangunan, tetapi harus terlibat aktif dalam perumusan kebijakan dan pengawasan jalannya pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, keterlibatan ini bisa berupa inisiatif masyarakat dalam memberikan masukan terhadap kebijakan publik, seperti dalam rancangan anggaran, pengelolaan sumber daya alam, dan reformasi birokrasi.
Locke juga menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan negara. Pemerintahan yang terlalu dominan dan tidak transparan dapat berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi pilar utama dalam tata kelola pemerintahan.
Ketegasan Prabowo terhadap korupsi dan mafia mencerminkan upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip ini. Dengan memperkuat lembaga penegak hukum, membersihkan institusi negara dari oknum yang korup, dan memastikan bahwa kebijakan publik benar-benar berpihak kepada rakyat, visi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur menjadi lebih dekat dengan kenyataan.
Dalam Islam, konsep rahmatan lil alamin mengajarkan bahwa kebijakan negara harus membawa manfaat bagi semua, tanpa diskriminasi. Negara tidak hanya harus menjamin kemakmuran ekonomi, tetapi juga menjaga keadilan sosial dan moralitas publik.
Kisah Nabi Yusuf dapat menjadi inspirasi dalam mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sebagai bendahara Mesir, Yusuf menunjukkan integritas dan kebijaksanaan dalam mengelola sumber daya selama masa kelimpahan dan kelaparan. Ia merencanakan kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat, memastikan ketersediaan pangan dan kestabilan ekonomi. Kepemimpinan yang berintegritas dan berpihak pada kepentingan rakyat inilah yang diperlukan untuk mencapai negeri yang makmur dan diberkahi.
Kita berada di persimpangan jalan. Apakah kita akan tetap membiarkan negeri ini berjalan seperti sebelumnya—di mana hukum hanya tajam ke bawah, di mana ekonomi dikendalikan oleh mafia, di mana kepemimpinan diisi oleh mereka yang hanya mencari keuntungan?
Ataukah kita akan memilih jalan yang lebih sulit—jalan yang menuntut keberanian, jalan yang mengharuskan ketegasan, jalan yang mungkin akan banyak mengorbankan kenyamanan mereka yang selama ini menikmati sistem yang korup?
Prabowo memiliki visi, ia memiliki keberanian, dan ia memiliki tekad untuk membawa Indonesia menuju negeri yang lebih baik. Tetapi pada akhirnya, visi ini hanya akan menjadi nyata jika kita semua memilih untuk ikut serta.
Sejarah tidak pernah ditulis oleh mereka yang diam. Sejarah ditulis oleh mereka yang berani mengambil peran. Dan Prabowo serta Tamsil Linrung adalah yang tulus dan berani.