Penulis dr Wachyudi Muchsin SKed SH MKes (dokter rombongan Amirul Hajj 2025)
Langkah terasa berat tubuh enggan berpaling, hati menolak beranjak.
Ada saat ketika kaki melangkah, tetapi hati tertinggal. Di bawah langit Makkah yang agung, dalam pelukan suci Masjidil Haram, ribuan jiwa bersatu dalam sunyi berzikir, berdoa, dan mencintai dalam diam. Dan di sanalah, dalam detik-detik terakhir sebelum meninggalkan Tanah Suci, satu momen agung menyelimuti: Tawaf Wada—tawaf perpisahan.
Bukan sekadar putaran mengelilingi Ka’bah. Ini adalah simfoni perasaan yang tak terucap. Langkah demi langkah terasa berat, seakan tubuh enggan berpaling dan hati tak rela beranjak. Air mata mengalir tanpa diminta. Dada sesak oleh haru yang tak tertahankan. Inilah perpisahan yang paling suci—perpisahan dengan Baitullah, rumah Allah yang telah menjadi saksi segala rintihan, pengakuan, dan harapan.
Saat tangan terakhir kali terulur ke Hajar Aswad, seakan ingin mengukir satu pesan:
“Ya Rabb, izinkan hamba kembali.”
Saat mata menatap Ka’bah untuk terakhir kalinya, ada kerinduan yang tertanam begitu dalam, menjelma menjadi luka manis yang akan terus hidup dalam jiwa.
Di momen Tawaf Wada, manusia benar-benar telanjang dari dunia. Tak ada status, jabatan, atau kemewahan yang tersisa—hanya hamba dan Tuhannya. Inilah titik ketika raga hendak pergi, tapi ruh masih ingin tinggal. Karena bagaimana mungkin kita bisa begitu mudah meninggalkan tempat di mana air mata dibersihkan, dosa diampuni, dan cinta Ilahi dirasakan seutuhnya?
Menariknya, selain nilai spiritualnya yang mendalam, Tawaf Wada juga memberi manfaat luar biasa bagi kesehatan. Gerakan memutari Ka’bah dengan ritme teratur membantu memperlancar aliran darah, meningkatkan kebugaran jantung, dan memperkuat otot-otot kaki serta tubuh. Sementara itu, kedalaman doa dan tangisan yang mengiringinya turut meredakan stres, menenangkan sistem saraf, dan memperbaiki kondisi mental. Banyak yang merasakan kelegaan emosional, ketenangan batin, bahkan perbaikan kualitas tidur setelahnya. Karena dalam momen itu, tubuh bergerak… tapi jiwa yang disucikan.
Tawaf Wada bukan hanya perpisahan dengan Ka’bah, tetapi juga dengan versi lama dari diri kita sendiri. Di sinilah kita pamit, sembari berjanji: akan menjaga hidayah ini, akan kembali, dan akan terus mengingat detik suci ini hingga akhir hayat.
Dan ketika pesawat lepas landas, awan-awan tak lagi sama. Karena sebagian jiwa telah tertinggal di tanah suci—di antara doa yang menggantung dan air mata yang masih belum kering.
Bagaimana mungkin meninggalkan tempat di mana air mata dibasuh, dosa diampuni, dan cinta Ilahi dipeluk sepenuh hati?
Ya Allah, jangan jadikan ini pertemuan terakhirku dengan rumah-Mu. Undanglah kembali hamba-Mu yang penuh cela ini, untuk kembali dalam pelukan-Mu, di bawah naungan Ka’bah-Mu yang agung. Aamiin.
Karena bagi hati yang pernah mencintai Ka’bah, pulang bukanlah kembali ke rumah—tetapi menunggu undangan berikutnya.