LASUSUA – PT Vale Indonesia Tbk tengah melakukan kegiatan penanaman besar-besaran bibit pohon di Desa Parutellang, Kecamatan Ngapa, Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan sekitarnya.
Kegiatan penanaman ini merupakan bagian dari proyek rehabilitasi DAS PPKH PT Vale Indonesia Tbk tahun 2024. Hanya saja, kegiatan yang menyasar ribuan hektar kebun cengkeh rakyat ini mendapat penolakan dari sebagian warga karena dinilai salah obyek dan tidak sesuai kebutuhan warga saat ini.
Suara penolakan pun disampaikan langsung oleh dua petani cengkeh Desa Parutellang, Kecamatan Ngapa, Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, Arman dan Nurmi, melalui kuasa hukumnya Dr H Sulthani SH MH dari Kantor Hukum Dr H Sulthani SH MH dan Institut Hukum Indonesia (IHI).
Menurut Sulthani, kliennya menolak karena lahan mereka saat ini bukan lahan kosong atau lahan kritis, melainkan lahan yang sangat produktif dan menghasilkan cengkeh yang banyak bagi kehidupan mereka sejak puluhan tahun silam hingga kini.
Selain itu, lanjut dia, penolakannya terkait dengan jenis bibit tanaman yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
“Klien kami sangat keberatan ditanami kebunnya dengan jenis tanaman lain yang dapat mengganggu kelangsungan pertumbuhan tanaman cengkeh dan coklat yang sudah produktif tersebut,” ujar Dr H Sulthani SH MH yang juga Ketua Umum Peradis Damai, didampingi Sekjen Peradis Damai, Andi Hikmaluddin, SH MH, Minggu, 24 Agustus 2025.
Untuk memastikan keberadaan dan tanaman cengkeh dan coklat milik kliennya tersebut aman, Sulthani pun telah melakukan kunjungan langsung ke area lahan kebun di atas gunung di Desa Parutellang, Kecamatan Ngapa, Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Hasilnya, kondisi lahan dan tanaman cengkeh memang lagi produktif-produktifnya.
“Untuk menyampaikan harapan ini, saya selaku kuasa hukum Arman dan Nurmi telah menemui pihak BPDAS Kementerian Kehutanan di Kendari serta Kepala Desa Parutellang,” katanya.
Dijelaskan Sulthani, kegiatan rehabilitasi adalah proses pemulihan atau perbaikan untuk mengembalikan keadaan semula agar dapat berfungsi kembali secara maksimal. “Sementara terhadap lahan klien kami, tidak pernah dieksplorasi dan tidak termasuk IUP PT Vale Indonesia Tbk, sehingga tidak tepat menjadi obyek kegiatan penanaman rehabilitasi DAS PPKH PT Vale Indonesia,” katanya.
Tanah perkebunan cengkeh dan coklat milik kliennya, lanjut dia, dibuka dengan perjuangan disertai penderitaan hingga telah digarap berpuluh-puluh tahun secara turun temurun yang menjadi sumber mata pencaharian utama keluarganya.
“Sesungguhnya, tujuan negara untuk mewujudkan masyarakat adil makmur tanpa intervensi APBN sudah terwujud dari hasil kerja keras klien kami sekeluarga. Tapi akan menjadi tidak adil dan akan memiskinkan klien kami jika kegiatan penanaman rehabilitasi tersebut dipaksakan untuk menanam jenis tanaman jati putih, jabon, alvokat, petai, jengkol, pala, durian dan lamtoro,” jelasnya.
Keberadaan jenis tanaman ini, lanjut dia, menurut kliennya akan mematikan tanaman cengkeh dan coklat mereka sehingga harus menunggu berpuluh-puluh tahun lagi untuk mendapatkan hasil dari tanaman baru, itupun kalau berhasil. Kemudian tidak ada pula jaminan tanah perkebunan yang dikuasai oleh kliennya tesebut dengan membayar PBB P2 setiap tahun, tidak dijadikan obyek IUP oleh PT Vale Indonesia kelak,” tegasnya.
Untuk itu, lanjut dia, PT Vale Indonesia harus melakukan sosialisasi dan transparansi, baik mengenai jaminan bahwa tidak mematikan tanaman cengkeh dan coklat serta lahan perkebunan tersebut tidak diambil alih dikemudian hari, karena kalau tanaman cengkeh dan coklat serta tanah kebun klien kelak dijadikan objek IUP maka sama saja mematikan klien kami sekeluarga, katanya.
Idealnya, menurut dia, jika pun proyek ini dimaksudkan untuk memberikan manfaat kepada petani, maka yang harus disediakan adalah bibit cengkeh atau coklat,” katanya. (*)