Oleh : Munawir Kamaluddin
Di kala senja merunduk perlahan, langit tersaji dalam warna-warni jingga dan ungu yang seolah mengisahkan sebuah rahasia mendalam, muncul pertanyaan-pertanyaan yang menghanyutkan jiwa.
Di antara tiap helai embun pagi yang jatuh, tersimpan kisah tentang harapan dan penyesalan, tentang keadilan yang berusaha menemukan pijakannya di tengah-tengah liku-liku kehidupan.
Di antara kisah kehidupan yang terus berulang, ada satu bab yang selalu menjadi perbincangan, membelah pemikiran menjadi dua, menyalakan perdebatan yang tak kunjung reda. Ia adalah poligami
Sebuah kata yang mengundang harapan bagi sebagian, namun mengundang luka bagi sebagian lainnya.
Sebuah pintu yang dibuka oleh syariat, namun dipenuhi dengan cabang-cabang ujian yang tak mudah dilalui.
Sebagian memandangnya sebagai mata air, mengalirkan kesejukan bagi mereka yang memahaminya dengan kejernihan hati, sebagai jalan keluar bagi yang terzalimi, bagi para janda yang merindukan tempat berlabuh, bagi perempuan yang mendamba perlindungan.
Namun, sebagian yang lain melihatnya sebagai air mata, karena dalam realitasnya, poligami kerap menjadi ladang luka yang tak tersembuhkan, mengoyak ketenangan, menyalakan api cemburu, mengubur harapan perempuan yang pernah berjanji untuk menjadi satu-satunya.
Di ujung kehidupan, dalam riuhnya peradaban, kisah poligami terus mengalun dengan nada yang berbeda-beda.
Ada yang melagukannya dalam irama bahagia, tapi tak sedikit yang menyenandungkannya dalam nada pilu. Ada yang menjadikannya solusi, tapi ada pula yang menyesali langkah yang diambilnya.
Maka, pada titik ini, kita bertanya; Apakah poligami adalah cahaya yang menerangi, atau kabut yang memburamkan? . Apakah ia adalah keadilan yang ditegakkan, atau justru tirani yang terselubung dalam nama agama?.
Bayangkanlah sejenak sebuah taman yang luas, di mana terdapat dua sumber air. Satu sumber adalah mata air yang jernih, mengalir dengan tenang dan penuh harapan, memberi kehidupan dan kesejukan kepada setiap makhluk yang meminumnya. Di sisi lain, ada aliran yang membawa air mata, menetes sebagai saksi bisu atas kegetiran hati dan luka yang tak kunjung sembuh.
Di sinilah, terhampar dualitas yang mendalam, apakah poligami mampu menjadi mata air yang mencerahkan, atau justru berubah menjadi aliran air mata yang menyisakan kepedihan?
Pertanyaan ini mengajak kita untuk menyelami kedalaman makna keadilan dan kasih sayang dalam setiap hubungan.
Bagaimanakah mungkin sebuah institusi, yang seharusnya mengukir kebahagiaan dan melahirkan keadilan, bisa sekaligus menyimpan potensi penderitaan? .
Apakah keadilan hanya terpatri dalam aturan tertulis, atau ia harus tumbuh dari benih keikhlasan dan perhatian yang mendalam? . Di sinilah, di tengah derasnya arus kehidupan modern, kita diajak untuk merenung:
Dapatkah hati yang terbagi menemukan ruang untuk mencintai secara utuh?. Bisakah keadilan diraih ketika setiap individu, terutama para perempuan, selama ini menjadi saksi bisu dan sering terlupakan?
Dalam gema pertanyaan itu, terselip harapan agar setiap suara, terutama suara lembut para perempuan yang kerap merasakan getirnya ketidakadilan, dapat mendapatkan tempat yang layak. Mereka adalah sosok yang tidak hanya membawa cerita tentang pengorbanan, tetapi juga tentang keberanian, kelembutan, dan keinginan untuk meraih kebahagiaan yang utuh.
Di antara deretan tanya yang menggelitik ini, mari kita bersama-sama mengevaluasi apakah realitas poligami mampu menghadirkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebahagiaan dan kepedihan.
Melangkahlah bersama kami dalam perjalanan pemikiran ini, di mana setiap kata merupakan jembatan yang menghubungkan emosi dengan logika, dan setiap kalimat menjadi undangan untuk menyelami makna kehidupan yang sesungguhnya.
Di balik tabir tradisi dan norma yang selama ini mengakar, tersimpan potensi besar untuk menemukan kembali definisi keadilan yang inklusif dan menyentuh hati.
Apakah mungkin, melalui dialog dan refleksi mendalam, kita dapat mengubah setiap tetes air mata menjadi embun yang menyegarkan jiwa, dan setiap mata air menjadi sumber kekuatan yang menumbuhkan harapan?
Di dalam perjalanan ini, kita tak hanya menelusuri aspek-aspek sosial dan budaya dari poligami, tetapi juga menyelami ruang batin yang dipenuhi oleh konflik, kerinduan, dan impian akan keadilan.
Bayangkan sebuah dunia di mana setiap perasaan, tanpa terkecuali, dihargai dan dipahami, sebuah dunia di mana perbedaan tidak lagi menjadi jurang pemisah, melainkan jembatan yang menghubungkan hati-hati yang rindu akan kebenaran dan kasih sayang yang tulus.
Apakah kita mampu menemukan titik temu di antara dua realitas yang tampak bertolak belakang ini? Mungkinkah kita menyulam kembali benang-benang hubungan manusia dengan keadilan yang utuh, sehingga setiap individu, terutama para perempuan, merasa terwakili dalam harmoni yang tak berat sebelah?.
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mengiringi setiap langkah dalam upaya memahami poligami secara lebih mendalam, sebuah usaha untuk meretas belenggu ketidakpastian dan menciptakan ruang bagi keindahan yang bersifat universal.
Marilah kita membuka lembaran baru pemikiran ini dengan hati yang lapang dan pikiran yang kritis, menyelami setiap nuansa perasaan dan logika yang ada.
Di sini, dalam setiap alunan kata yang puitis, terdapat undangan untuk tidak hanya membaca, tetapi juga merasakan, untuk tidak hanya mengerti, tetapi juga merenung. Karena,
Karena sesungguhnya , keindahan hidup terletak pada kemampuan kita untuk melihat di balik permukaan, menemukan makna dalam setiap air mata, dan mengubah setiap mata air menjadi simbol harapan yang tak pernah padam.
Semoga tulisan ini tidak hanya menyentuh relung jiwa, tetapi juga menggugah pemikiran kita semua untuk terus bertanya, terus mengevaluasi, dan mencari jalan menuju keadilan yang sesungguhnya, sebuah keadilan yang mampu mengalir seperti mata air yang menyuburkan, dan yang dapat menghapus setiap jejak air mata dengan sinar kehangatan cinta dan pengertian.
Poligami dalam Al-Qur’an dan Sunnah
- Legitimasi Poligami dalam Al-Qur’an
Allah SWT membolehkan poligami dengan batasan tertentu sebagaimana firman-Nya:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
(Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim (yang hendak kamu nikahi), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya). (QS. An-Nisa’ [4]: 3)
Ayat ini menegaskan bahwa poligami bukan kewajiban, melainkan rukhshah (keringanan) dengan syarat utama adalah keadilan. Jika ada kekhawatiran tidak bisa adil, maka Allah memerintahkan untuk cukup satu istri.
- Tuntutan Keadilan yang Sulit Dipenuhi
Allah juga menegaskan dalam ayat lain:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
(Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada istri yang lebih dicintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan perbaikan dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). (QS. An-Nisa’ [4]: 129)
Ayat ini menunjukkan betapa sulitnya berlaku adil dalam poligami, terutama dalam aspek emosional dan perhatian. Ini menjadi peringatan keras bagi laki-laki yang ingin berpoligami tanpa kesiapan mental, spiritual, dan material yang memadai.
II. Pandangan Nabi, Sahabat, dan Ulama tentang Poligami
- Hadits Nabi tentang Poligami
Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW. memperingatkan suami yang tidak adil dalam poligami:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
(Barang siapa yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, maka pada hari kiamat ia akan datang dalam keadaan bahunya miring). (HR. Abu Dawud No. 2133)
Hadits ini menggambarkan konsekuensi berat bagi suami yang gagal dalam menegakkan keadilan.
- Sikap Sahabat dalam Poligami
Umar bin Khattab pernah mengusulkan pembatasan poligami karena melihat banyak suami yang tidak mampu adil. Demikian pulan Sayyidina Ali bin Abi Thalib tetap setia kepada Fatimah selama hidupnya, dan hanya menikah lagi setelah Fatimah wafat.
- Pandangan Ulama
Imam Asy-Syafi’i: Poligami boleh jika seorang laki-laki mampu menegakkan keadilan. Jika tidak, maka sebaiknya cukup satu istri.
Ibnu Taimiyah: Poligami bisa menjadi maslahat atau mafsadat tergantung bagaimana seorang suami menjalankannya.
Ketidakseimbangan Populasi: Antara Kebutuhan dan Kemaslahatan
Di berbagai belahan dunia, statistik menunjukkan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki-laki.
Di beberapa negara, perbandingan ini semakin mencolok, diperparah dengan meningkatnya angka perceraian dan janda.
Dalam kondisi ini, poligami sering kali diajukan sebagai solusi sosial, sebagai cara untuk melindungi perempuan dari kesendirian dan keterpurukan. Namun, apakah semudah itu?
Jika poligami hanya dipandang sebagai jawaban matematis bagi ketidakseimbangan demografi, kita lupa bahwa pernikahan bukan sekadar soal angka. Ia adalah perjalanan panjang dua jiwa, bukan sekadar penyatuan nama dalam dokumen resmi.
Ia menuntut kesetiaan, ketulusan, pengorbanan, dan keadilan, empat hal yang sering kali lebih sulit ditemukan dibanding pasangan hidup itu sendiri.
Di sisi lain, ada kebutuhan biologis laki-laki yang kerap dijadikan alasan. Memang benar, Islam mengakui fitrah laki-laki sebagai makhluk yang memiliki hasrat.
Namun, apakah kebutuhan biologis bisa dijadikan dalih untuk mengorbankan ketenangan rumah tangga? Bukankah Islam juga menuntut pengendalian diri, bukan hanya pemuasan diri?
Dilema Sosial: Ketika Keadilan Menjadi Ujian
Poligami bukan hanya soal memiliki lebih dari satu istri. Ia adalah ujian keadilan yang paling berat. Dalam sejarah Islam, bahkan Rasulullah SAW. sendiri, manusia yang paling adil, paling penyayang, dan paling memahami hak-hak perempuan, merasakan betapa sulitnya berlaku adil dalam cinta. Diriwayatkan bahwa beliau berdoa:
اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ
(Ya Allah, inilah pembagianku terhadap istri-istriku dalam perkara yang aku mampu. Maka janganlah Engkau menyalahkanku dalam hal yang Engkau kuasai dan aku tidak kuasai.)
(HR. Abu Dawud No. 2134)
Hadits ini mengajarkan bahwa bahkan Rasulullah SAW, yang menjadi teladan sempurna dalam berumah tangga, masih merasa bahwa hati adalah sesuatu yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan.
Maka, bagaimana dengan manusia biasa yang mudah terjerumus dalam bias cinta dan kecenderungan pribadi?
Dalam kehidupan modern, tantangan keadilan dalam poligami semakin kompleks. Tidak hanya soal membagi waktu dan materi, tetapi juga tentang emosi, perhatian, dan ketenangan batin.
Banyak kasus di mana istri pertama merasa diabaikan, anak-anak merasa kehilangan kasih sayang ayahnya, dan istri kedua hidup dalam bayang-bayang status yang tak diakui secara sosial.
Poligami: Antara Cahaya dan Bayang-Bayang
Poligami dalam Islam adalah sebuah jalan, tetapi bukan satu-satunya jalan. Ia adalah sebuah solusi, tetapi tidak untuk semua orang. Ia adalah sebuah izin, tetapi tidak selalu menjadi pilihan terbaik.
Bagi sebagian, poligami adalah cahaya, menyinari kehidupan yang sebelumnya penuh luka. Ia menyatukan yang terserak, menguatkan yang rapuh, dan menghadirkan cinta yang melampaui ego pribadi.
Namun, bagi sebagian yang lain, poligami adalah bayang-bayang yang menggelapkan. Ia menciptakan dinding yang memisahkan hati, menumbuhkan rasa curiga, dan membuat rumah tangga yang dulu kokoh menjadi rapuh dan tak menentu.
Maka, sebelum seorang laki-laki melangkah menuju pintu poligami, hendaklah ia bertanya pada dirinya sendiri:
Apakah aku benar-benar mampu berlaku adil, atau hanya sedang membangun istana yang akan runtuh oleh ketidakadilanku sendiri?
Apakah ini tentang maslahat umat, atau sekadar keinginan pribadiku, Apakah poligami ini akan menjadi mata air bagi keluargaku, atau justru air mata yang tak berkesudahan?
Sebab pada akhirnya, bukan banyaknya istri yang menentukan keberkahan hidup seseorang, tetapi sejauh mana ia bisa menjadi suami yang bertanggung jawab dan berpegang teguh pada keadilan yang hakiki.
Maka, poligami: mata air atau air mata? Solusi atau masalah?
Jawabannya bukan pada konsepnya, tetapi pada cara kita menjalaninya.# Wallahu A’lam Bishawab🙏MK
SEMOGA BERMANFAAT
Al-Fakir. Munawir Kamaluddin