Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Opini

Penjarahan Saat Bencana: Salah, Tapi Kenapa Harus Terjadi?

70
×

Penjarahan Saat Bencana: Salah, Tapi Kenapa Harus Terjadi?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Muh Imran Kabid Kebijakan Publik PP KAMMI

Setiap kali bencana terjadi, satu fenomena selalu muncul dan langsung memicu kemarahan publik: penjarahan. Secara hukum, tindakan itu jelas salah dan tidak bisa dibenarkan dalam keadaan apa pun. Namun membatasi persoalan ini hanya pada urusan kriminalitas adalah cara paling malas untuk memahami kenyataan. Penjarahan dalam situasi bencana bukan muncul dari ruang hampa; ia lahir dari kerentanan, ketimpangan sosial, dan kegagalan sistemik yang sudah berlangsung jauh sebelum air bah atau tanah longsor datang.

Example 500x700

Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut bahwa ketimpangan tidak sekadar soal kaya dan miskin, tetapi tentang warisan modal sosial, ekonomi, dan budaya yang membuat kelompok tertentu berada dalam kerentanan permanen. Kelompok inilah yang pada jam-jam pertama bencana selalu paling cepat terpuruk—tidak punya tabungan, tidak punya transportasi, tidak punya jaringan sosial yang bisa membantu. Ketika mereka kehilangan rumah, listrik padam, dan bantuan belum terlihat, yang tersisa hanyalah insting bertahan hidup.

Di sisi lain, teori relative deprivation menjelaskan bahwa orang melakukan tindakan ekstrem bukan karena mereka paling miskin, tetapi karena mereka merasakan ketertinggalan yang tajam. Dalam konteks bencana, ketika bantuan lambat, logistik tersendat, atau desas-desus tentang “kelompok lain yang lebih dulu mendapat bantuan” beredar, rasa tidak adil itu berubah menjadi kepanikan kolektif. Di titik ini, pengawasan sosial melemah, dan penjarahan muncul sebagai respon spontan, bukan rencana kriminal.

Dalam perspektif ketimpangan struktural yang dipaparkan Marx maupun Weber, bencana hanyalah panggung yang membuka tirai lebar-lebar: kelas yang miskin selalu paling menderita. Sementara sebagian warga dapat mengungsi dengan mobil pribadi atau mendapat akses informasi lebih cepat, mereka yang hidup di pinggir sungai, rumah semi permanen, atau kawasan kumuh kehilangan segalanya dalam hitungan menit. Ketimpangan yang biasanya tersembunyi di balik kehidupan sehari-hari tiba-tiba menjadi telanjang.

Literatur sosiologi bencana menyebut fenomena ini sebagai survival looting. Ini berbeda dari penjarahan terorganisasi atau tindakan kriminal murni. Survival looting terjadi ketika warga benar-benar tidak memiliki pilihan lain untuk bertahan hidup: ketika bayi butuh susu, ketika keluarga butuh obat, ketika makanan tidak ada, dan negara belum hadir. Apakah tindakan itu benar? Tidak. Apakah bisa dipahami sebagai tindakan manusia yang putus asa? Ya.

Inilah alasan mengapa pendekatan “penjarahan = kriminalitas” sangat dangkal. Ia mengabaikan pertanyaan yang jauh lebih penting: kenapa orang harus melakukan itu untuk hidup? Jawabannya selalu kembali pada tiga hal: ketimpangan sosial yang mengakar, sistem perlindungan sosial yang tidak memadai, dan respon awal negara yang sering kali terlalu lambat.

Bencana bukan hanya urusan alam, tetapi ujian terhadap kualitas negara. Jika penjarahan terus muncul dari satu bencana ke bencana berikutnya, maka yang gagal bukan hanya warganya—tetapi negara yang tidak hadir tepat waktu, tidak merata, dan tidak adil.

Dan pada akhirnya, penjarahan bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah alarm keras yang memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang sangat rusak dalam struktur sosial kita. Alarm itu bisa diabaikan, bisa dipadamkan dengan tindakan represif, tetapi selama akar masalahnya tidak diselesaikan—ketimpangan, kemiskinan, dan lambatnya respon—fenomena ini akan terus berulang.

Bukan karena mereka tidak bermoral. Tetapi karena negara tidak cukup cepat menyelamatkan mereka.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *