TAKALAR, SULSEL – Kasus dugaan pengeroyokan yang terjadi di wilayah Bontolebang, Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, kini menjadi sorotan publik. Sejumlah pihak menilai Polsek Bontolebang belum menunjukkan langkah tegas dalam menangani kasus ini, meskipun korban telah melaporkan kejadian tersebut dengan detail, termasuk menyebutkan nama-nama terduga pelaku.
Rasul Dg Sore (48), seorang warga Tamala’lang, Desa Parangmata, Kecamatan Galesong, menjadi korban pengeroyokan pada Minggu, 31 Agustus 2025, sekitar pukul 23.00 WITA. Insiden tersebut terjadi di Desa Bontomajannang, Kelurahan Bontolebang, Takalar. Rasul Dg Sore telah melaporkan kasus ini ke Polsek Bontolebang dengan nomor laporan polisi Lp/B/85/VIII/2025/SPKT/Sek Galut/Res Takalar/Polda Sulsel.
Tanggapan Pihak Kepolisian
Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Kapolsek Bontolebang menyatakan bahwa penanganan kasus masih dalam tahap pemanggilan saksi. Kanit Reskrim Polsek Bontolebang menambahkan bahwa pihaknya masih menunggu keterangan dari saksi-saksi lain serta hasil visum dari Puskesmas Bontolebang. Namun, informasi dari pihak puskesmas menyebutkan bahwa hasil visum belum dapat dikeluarkan karena dokter yang menangani korban belum bertugas.
Menurut keterangan sejumlah saksi mata, salah satu personel kepolisian dari Polsek Bontolebang berada di lokasi kejadian sesaat setelah insiden pengeroyokan terjadi. Saat itu, baik pelaku maupun korban masih berada di tempat. Namun, tidak ada tindakan pengamanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tersebut.
Lambannya penanganan kasus ini memicu kritik dari berbagai pihak. Muh. Syibli dan Gibran, jurnalis dari media online yang turut menginvestigasi kasus ini, menyoroti perbedaan penanganan dengan kasus serupa sebelumnya. Mereka mempertanyakan mengapa terduga pelaku belum diamankan, padahal korban sudah menyebutkan nama-nama mereka.
“Kami hanya ingin memahami aturan yang berlaku. Korban sudah menyebutkan nama-nama pelaku, tetapi mengapa mereka belum diamankan? Apakah ada perbedaan aturan yang diterapkan sekarang?” ujar Syibli.
Keluarga korban juga menyampaikan kekecewaan dan mendesak agar aparat kepolisian bertindak lebih transparan serta memberikan kepastian hukum
Mengacu pada Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), polisi memiliki wewenang untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana, bahkan tanpa surat perintah resmi, apabila situasi dianggap mendesak. Surat penangkapan dapat menyusul setelah tindakan penangkapan dilakukan.
Dalam konteks kasus ini, apabila benar pelaku masih berada di lokasi kejadian dan identitasnya telah disebutkan oleh korban, aparat kepolisian sebenarnya memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan pengamanan awal. Langkah ini sangat penting untuk mencegah pelaku melarikan diri atau menghilangkan barang bukti yang mungkin ada.
Keluarga korban merasa sangat kecewa dengan lambannya proses hukum yang berjalan. Mereka berharap agar kepolisian dapat bertindak lebih cepat agar kasus ini tidak berlarut-larut dan segera mendapatkan kejelasan.
“Kami memohon kepada Bapak Kapolri, Bapak Kapolda Sulsel, dan Bapak Kapolres Takalar untuk turun tangan langsung dalam kasus ini. Kami hanya menginginkan keadilan. Polisi harus menunjukkan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu,” tegas perwakilan keluarga korban dengan nada penuh harap.
Kasus pengeroyokan ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum dalam memberikan rasa aman serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Masyarakat menantikan tindakan nyata dan transparan dari pihak kepolisian agar keadilan dapat ditegakkan seadil-adilnya.