Penulis : dr Wachyudi Muchsin SKed SH MKes C.Med
Di tengah hiruk-pikuk zaman yang semakin larut dalam gemerlap materi dan gemuruh ego manusia modern, ibadah qurban hadir bagaikan oase—penyejuk jiwa di padang gersang spiritualitas. Ia bukan sekadar prosesi penyembelihan hewan, tetapi simbol penyembelihan sifat-sifat hewani dalam diri: keserakahan, kesombongan, dan keakuan yang melampaui batas.
Zaman kini bukan lagi era daging dan darah, melainkan era metafisika—ketika manusia sibuk menjelajah dunia pikiran, pencitraan, dan eksistensi maya. Di tengah kebisingan ini, qurban menjadi penanda sunyi yang penuh makna: bahwa yang sejati bukan apa yang tampak di layar, melainkan apa yang tersembunyi dalam keikhlasan hati.
Idul Adha 1446 H menjadi momen yang tepat untuk merenungi ulang esensi pengorbanan. Bukan semata soal hewan yang disembelih, tetapi tentang meluruhkan ego, melembutkan hati, dan menata ulang arah hidup. Di tengah dunia yang terus bergerak cepat dan mengaburkan makna, Idul Adha mengajak kita kembali pada kesederhanaan iman dan kemurnian niat.
Qurban adalah momentum pemurnian jiwa. Ia membawa energi spiritual yang besar: keikhlasan, pengorbanan, dan cinta yang tulus kepada Sang Pencipta. Bagi mereka yang menjalankannya dengan penuh kesadaran, qurban menyuguhkan efek terapeutik—membersihkan hati dari debu batin, meredakan stres, dan menyeimbangkan emosi yang selama ini ditekan oleh ambisi duniawi.
Dalam sudut pandang kesehatan spiritual dan kebatinan, qurban bekerja seperti detoksifikasi ruhani. Ia membuka saluran hati yang tersumbat oleh rasa takut kehilangan, kecemasan masa depan, dan kegelisahan eksistensial. Proses memberi—tanpa pamrih dan penuh kesadaran—merangsang hormon kebahagiaan, memperkuat relasi sosial, serta menumbuhkan rasa syukur yang mendalam.
Secara psikis, qurban memperkuat daya tahan mental. Saat seseorang merelakan sesuatu yang berharga demi ridha Ilahi, ia sedang melatih hatinya agar tidak tunduk pada hasrat dunia. Maka, qurban menjadikan jiwa lebih lapang, pikiran lebih tenang, dan batin lebih sehat.
Hakekat qurban adalah keikhlasan Ibrahim dan ketundukan Ismail—puncak cinta dan kepasrahan kepada Tuhan. Di dunia yang semakin mencintai dirinya sendiri, qurban menjadi latihan mencintai Tuhan lebih dari segala yang kita miliki, termasuk ego dan ambisi kita.
Qurban adalah tafsir kehidupan: bahwa untuk mendekat kepada Tuhan, kadang bukan dengan menambah, tapi justru dengan melepaskan. Melepaskan keterikatan, keakuan, dan segala yang fana demi sesuatu yang kekal.
Di era metafisika ini, mari kita tidak hanya menyembelih hewan, tapi juga menyembelih kepalsuan yang mengungkung batin. Sebab hanya dengan begitu, Idul Adha akan menjadi oase sejati—yang menumbuhkan kembali keheningan, ketulusan, dan kesejatian dalam perjalanan spiritual kita.