Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Opini

Novel Hamka dan Bibit Kepenulisan

27
×

Novel Hamka dan Bibit Kepenulisan

Sebarkan artikel ini

Oleh Yanuardi Syukur

Satu hal yang saya senangi saat ini adalah ketika dapat mengajak banyak orang untuk menulis bukunya sendiri atau buku bersama. Saat ini, saya baru saja selesai menginisiasi, menyunting, dan akan mengirimkan buku kolaborasi tersebut ke masing-masing penulis yang beralamat di Indonesia maupun di luar negeri seperti Malaysia, Sri Lanka, Bangladesh, dan Afrika Selatan. Dari empat negara itu, baru Malaysia dan Afsel yang saya kunjungi, selebihnya baru kenal satu-dua orang dan menyimak cerita di internet.

Example 500x700

Saya mulai senang menulis setidaknya pas nyantri di Darunnajah. Saat itu saya bertugas membeli kebutuhan rayon di Pasar Mayestik. Saat belanja, saya mampir ke salah satu toko, di situ jual buku. Saya pun tertarik untuk baca sebuah buku berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Hamka. Saya baca sekaligus menghayati novel itu, yang dalam beberapa hal, tokoh dalam cerita itu sepertinya punya kemiripan dengan diri kita sendiri. Dari situ, saya mulai suka menulis, walaupun belum bermimpi menjadi penulis.

Setelah tamat Darunnajah, saya ‘mundur dari Jakarta’ ke Makassar. Di Makassar, dalam keadaan tidak ada keluarga, saya berupaya ‘memulai segala sesuatunya’. Sebagai ‘gerbang Indonesia Timur’, Makassar adalah kota yang dinamis, dan menjadi patron di timur Indonesia. Saat kuliah itulah saya mulai mencoba-coba menulis surat-surat, buku harian, hingga kemudian menulis di majalah dinding, koran kampus, dan berlanjut ke koran daerah. Semua itu terasa menyenangkan sebab kita memulai dari bawah; artinya, kita melewati kisah-kisah tulisan yang ditolak, termasuk yang tidak ada kabarnya.

Tulisan dimuat di koran itu sesuatu. Tulisan kita belum tentu bagus, tapi kesempatan dimana tulisan kita diterbitkan itu inspirasi luar biasa untuk berkarya. Saya masih ingat, pada 2001 sempat menulis tentang serangan Al-Qaeda terhadap WTC, yang disusul dengan war on terror AS terhadap Irak dan menghancurkan Afghanistan untuk memburu Osama bin Laden. Saat itu, saya merasa sangat senang melihat tulisanku dimuat. Pointnya adalah, walaupun belum sempurna, tapi tulisan yang terbit itu menggerakkan hati untuk menulis lagi selanjutnya.

Ketika sudah menulis banyak buku, saya kemudian berpikir untuk lebih menggiatkan kolaborasi dalam arti mengajak sebanyak mungkin teman atau mungkin bukan teman untuk menulis. Dari berbagai tulisan tersebut—mulai dari siswa hingga profesor—saya baca dan lihat ‘ruh tulisan’-nya. Ada banyak tulisan pemula yang saya edit, bahkan parafrase agar dapat dibaca. Tapi, problem besarnya adalah, tidak semua penulis pemula mau belajar untuk terus memperbaiki tulisannya. Terkadang, setelah tulisan terbit mereka kembali ‘buntu’, tidak ada lagi ide untuk ditulis.

Menurut saya, menulis itu tidak lepas dari latihan. Latihan berpikir cepat, latihan menulis cepat, dan latihan menemukan ide secara cepat. Sepertinya skill tersebut tidak bisa langsung jadi; butuh latihan, butuh jatuh berkali-kali, dan bangun berkali-kali pula. Untuk itu, tiap orang perlu terus berlatih agar bisa menulis lebih berkualitas atau lebih ekstensif.

Cerita novel Hamka di atas, adalah cerita tentang inspirasi yang menjadi bibit dalam menulis. Terkadang ada hal-hal sederhana yang membentuk diri kita di kemudian hari. Ketika dapat hal-hal sederhana itu, segeralah kita untuk menggunakannya menjadi sesuatu yang bermakna. Misal, saya kalau dapat ide, biasanya saya langsung buat judul buku. Kadang, saya buat grup whatsapp sendiri, berdua, atau mungkin beberapa orang. Kadang juga saya langsung buat naskah buku di laptop. Bisa dikatakan bahwa jika ada ide segeralah kita menangkapnya dengan menulis.

Akhirnya, setiap kita pasti punya pengalaman sederhana yang mungkin dapat kita gunakan sebagai inspirasi untuk menulis. Tidak harus menunggu ikut pelatihan besar atau bertemu penulis hebat. Kita hanya perlu melihat pengalaman hidup sendiri, kemudian kembangkan pengalaman itu menjadi semangat untuk memproduksi tulisan tanpa harus berpikir bahwa tulisan itu harus terbit. Karena bisa jadi tulisan yang kita buat itu tidak diterbitkan oleh media karena banyak hal. Tapi jika kita terus menjaga semangat itu, saya yakin budaya menulis akan menjadi milik kita dan produktivitas akan kita raih.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *