MAMUJU – Kantor Hukum HJ Bintang & Partners selaku kuasa hukum dari masyarakat yang tergabung dalam Asosiasi Petani Sawit Pasangkayu (APSP), menyampaikan pengaduan resmi kepada Kapolda Sulbar terkait dugaan ketidaknetralan dan ketidakadilan dalam penanganan laporan dugaan tindak pidana perkebunan oleh PT. Letawa anak perusahaan dari PT. Astra Agro Lestari Tbk (AAL).
Dalam surat yang telah dikirimkan dan ditandatangani oleh Hasri, SH., MH., kuasa hukum APSP, diuraikan sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan yang dinilai tidak profesional, tidak transparan dan tidak akuntabel.
Pertama, APSP pada 7 Mei 2025 telah secara resmi melaporkan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh PT. Letawa ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulbar. Laporan tersebut teregister dengan nomor LI/50/V/RES.5/2025/Tipidter. Namun hingga surat ini dikirimkan, pihak pelapor baru menerima SP2HP pertama tertanggal 16 Mei 2025, itupun setelah diminta langsung kepada penyidik.
Kedua, kuasa hukum APSP menilai bahwa proses penanganan laporan mereka cenderung lamban dan minim komunikasi. Hal ini sangat kontras dengan perlakuan terhadap laporan balik yang dilayangkan oleh pihak perusahaan terhadap tujuh warga, yang justru langsung ditindaklanjuti hanya dalam waktu kurang dari 24 jam.
Laporan perusahaan tersebut terdaftar dengan nomor LI/62/V/RES.5/2025/Tipidter tanggal 26 Mei 2025, dan langsung diikuti pemanggilan klarifikasi kepada warga pada keesokan harinya.
Ketiga, APSP juga menyoroti penggunaan pasal-pasal dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang dinilai keliru dan menyesatkan. Pihak perusahaan diduga menyalahgunakan Pasal 55 dan Pasal 107 untuk menyeret warga yang tengah memperjuangkan hak atas tanah mereka sendiri.
Padahal, Pasal 55 mengatur tentang larangan kegiatan usaha perkebunan tanpa izin dan lebih tepat ditujukan kepada korporasi, bukan petani. Sementara Pasal 107 merupakan sanksi pidana atas pelanggaran administratif, yang semestinya didahului oleh pemeriksaan dari instansi teknis seperti Dinas Perkebunan, yang faktanya tidak pernah dilakukan terhadap warga.
“Harusnya, Dirreskrimsus baca Putusan MK No. 138/PUU-XIII/2015 secarah utuh biar ngerti, tidak asal panggil masyatakat,” kata Hasri.
Keempat, menurut kuasa hukum APSP, laporan dari pihak perusahaan juga berpotensi cacat formil, karena substansi perkara tersebut sebelumnya telah dilaporkan lebih dulu oleh pihak perusahaan ke Ditreskrimum Polda Sulbar.
Sehingga laporan baru ini patut diduga sebagai bentuk tekanan balik (retaliasi) terhadap pelaporan masyarakat, yang berujung pada praktik kriminalisasi.
Kelima, dalam proses pemanggilan klarifikasi, menurut pengakuan klien APSP, terdapat dugaan intimidasi verbal oleh salah satu oknum penyidik senior Ditreskrimsus, yang menyebutkan ancaman pasal pidana penjara hingga 10 tahun kepada warga. Dugaan intimidasi tersebut tercatat dalam rekaman telepon yang telah diamankan sebagai alat bukti.
Sehubungan dengan temuan-temuan tersebut, Kantor Hukum HJ Bintang & Partners mendesak Kapolda Sulbar untuk:
- Memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat pelapor, yang saat ini tengah menghadapi tekanan hukum atas perjuangan mempertahankan hak atas tanahnya sendiri.
- Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja penyidik Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Sulbar, yang dinilai tidak netral dan memiliki konflik kepentingan, mengingat pejabat utama di Subdit tersebut merupakan mantan Kasat Reskrim Polres Pasangkayu.
- Menginstruksikan kepada Kabid Propam dan Kabag Wasidik Ditreskrimsus Polda Sulbar untuk melakukan audit etika dan prosedur penyidikan terhadap laporan yang diajukan masyarakat maupun perusahaan.
- Menjamin bahwa seluruh proses hukum yang berlangsung dilakukan secara independen, profesional, dan bebas dari intervensi korporasi besar yang memiliki kekuatan ekonomi maupun politik.
Hasri, SH., MH., sebagai kuasa hukum APSP, menegaskan bahwa tindakan ketidakadilan dan kriminalisasi terhadap petani kecil adalah bentuk nyata dari kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya.
“Kami ingin menegaskan bahwa petani bukan penjahat. Mereka adalah korban dari sistem yang timpang. Jika aparat penegak hukum justru tunduk pada tekanan korporasi, maka tidak ada lagi ruang keadilan bagi rakyat kecil,” tegasnya.
Surat pengaduan ini juga telah ditembuskan kepada Kepala Divisi Propam Polda Sulbar dan Kabag Wasidik Ditreskrimsus Polda Sulbar, sebagai bentuk permintaan pengawasan internal terhadap dugaan penyimpangan prosedur dan etika oleh aparat penyidik. (*)