Oleh: Munawir Kamaluddin
Di balik dentuman senjata dan sorotan media tentang konflik Iran–Israel, tersembunyi panggung politik yang lebih luas.
Ini bukan sekadar adu kekuatan militer, melainkan drama ambisi, manipulasi, dan strategi kekuasaan dua tokoh besar, yakni Donald Trump dan Benjamin Netanyahu.
Dengan membungkus agresi dalam narasi pertahanan, keduanya memainkan peran utama dalam mengobarkan ketegangan yang bisa mengguncang tatanan dunia.
Tulisan ini mengajak kita menyibak tabir konflik dan melihat siapa sesungguhnya yang menyalakan api, dan siapa yang harus menanggung abunya.
Konflik Iran–Israel: Kepentingan Trump dan Politik Transaksional AS
Konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang kembali memanas bukan hanya mencerminkan ketegangan geopolitik regional, tetapi juga menjadi panggung bagi kepentingan politik domestik Amerika Serikat, khususnya Presiden Donald Trump.
Dalam situasi di mana Trump menghadapi penurunan simpati publik dan ancaman mosi tidak percaya, keterlibatan militer dalam konflik luar negeri sering kali digunakan sebagai strategi untuk membangkitkan nasionalisme dan menyatukan opini publik di dalam negeri.
Sejarah mencatat bahwa pemimpin yang menghadapi tekanan politik kerap menggunakan konflik eksternal sebagai alat pengalihan isu dan penggalangan dukungan.
Trump, dengan gaya kepemimpinan yang arogan, transaksional, dan tidak humanis, kerap menempatkan kepentingan pribadi dan politik di atas prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan internasional.
Sikapnya yang berpihak secara membabi buta kepada Israel menunjukkan standar ganda yang mencolok. Namun ketika Iran melakukan serangan balasan, ia dicap sebagai agresor, sementara serangan awal Israel yang menghantam fasilitas nuklir dan militer Iran justru didukung penuh oleh Washington.
Trump, Israel, dan Kekejaman yang Dilembagakan: Konflik Iran–Israel dalam Cengkeraman Ambisi Global
Ketika dunia terkejut oleh ledakan-ledakan yang mengguncang Tel Aviv dan Isfahan, satu pertanyaan besar muncul; siapa sesungguhnya dalang dari konflik baru yang berkecamuk di jantung Timur Tengah?.
Bagi yang memperhatikan dengan jeli, perang ini bukan hanya soal perseteruan dua negara. Ini adalah drama besar yang naskahnya ditulis dari Gedung Putih, disutradarai oleh ambisi kekuasaan Donald Trump dan diproduksi oleh sistem standar ganda Amerika Serikat yang lama menindas Timur Tengah.
Perang sebagai Alat Politik Trump
Menghadapi tekanan domestik yang besar , mulai dari mosi tidak percaya Kongres, krisis ekonomi pasca-pandemi, hingga erosi dukungan publik . Trump kembali memainkan kartu yang sama yakni perang luar negeri.
Dalam kamus politik transaksional ala Trump, konflik bukan sesuatu yang dihindari, melainkan dimanfaatkan.
Dengan menciptakan musuh bersama yaitu Iran, yang dituduh memperkuat nuklir dan mendanai milisi regional .
Disinilah manuver Trump mengalihkan perhatian dari kegagalan dalam negeri dan memanen simpati nasional.
Dan ini bukan kebetulan. Sejak dulu, pemimpin yang haus kekuasaan tahu bahwa taktik ”bakar luar, dinginkan dalam”
seringkali berhasil.
Keterlibatan AS dalam perang Iran–Israel tak lebih dari panggung raksasa untuk menyatukan opini publik Amerika dan menyelamatkan citra presiden yang sedang runtuh.
Israel Menyerang, Iran Membalas: Tapi Siapa yang Dicap sebagai Agresor?
Narasi mainstream dunia barat menuduh Iran sebagai pemicu eskalasi. Namun, kenyataannya justru terbalik. Serangan udara presisi oleh Israel terhadap situs nuklir Iran terjadi lebih dulu , dan dilakukan dengan restu penuh Washington.
Iran merespons dengan serangan balasan, dalam konteks membela diri sebagaimana diatur oleh Piagam PBB.
Tetapi dunia, yang sudah terbiasa memutar balik realitas Timur Tengah, kembali menyalahkan korban.
Zionisme dan Standar Ganda Uoaya Menghancurkan Kemanusiaan dengan Legitimasi Palsu
Kebijakan luar negeri AS selama dekade terakhir terus menyuburkan pola penindasan terhadap negara-negara yang dianggap “tidak sejalan.”
Dukungan buta terhadap Israel, pengabaian terhadap hak-hak rakyat Palestina, dan pembenaran terhadap kekerasan struktural atas nama “keamanan nasional” telah menciptakan tatanan global yang timpang.
Sementara pemukiman ilegal dan pembantaian warga Gaza berlangsung tanpa henti, suara dunia didiamkan oleh veto-veto di Dewan Keamanan PBB sesungguhnya disponsori oleh AS.
Zionisme versi Netanyahu , yang didukung penuh oleh elite Washington , telah menjelma menjadi mesin kekerasan yang tak segan mengorbankan warga sipil atas nama stabilitas regional.
Padahal, stabilitas yang dimaksud adalah dominasi militer dan kontrol sumber daya, bukan perdamaian.
Dimensi Global: Ancaman yang Bisa Membakar Dunia
Keterlibatan negara-negara besar seperti Rusia dan Tiongkok di balik Iran bisa membuat konflik ini bergulir menjadi krisis internasional.
Penutupan Selat Hormuz akan mengguncang ekonomi global, sementara jaringan milisi pro-Iran di Irak, Suriah, dan Lebanon bisa menjadikan perang ini meluas ke seluruh kawasan.
Namun, dalam logika geopolitik Trump–Netanyahu, destabilisasi kawasan bukan ancaman, melainkan alat tekan strategis.
Palestina: Luka Abadi yang Terabaikan
Tak ada pembicaraan soal konflik Timur Tengah yang bisa lepas dari Palestina. Kejahatan kemanusiaan yang terus dilakukan terhadap rakyat Palestina menjadi noktah hitam yang menempel di tangan Israel dan sekutunya.
Dari blokade Gaza hingga pengusiran warga Tepi Barat, penderitaan Palestina telah menjadi latar belakang kekal dari setiap krisis yang muncul.
Dunia, jika jujur, harus mengakui bahwa akar dari kekacauan ini adalah ketidakadilan historis yang dibiarkan dan terus dipelihara.
Akhir dari Kemunafikan Global?
Perang Iran–Israel bukan sekadar konfrontasi dua negara. Ini adalah puncak dari sebuah sistem kekuasaan global yang selama ini memproduksi kekerasan, menindas hak asasi, dan membungkam suara korban.
Trump dan Netanyahu — dua tokoh dengan sejarah panjang manipulasi politik dan arogansi kekuasaan , yang telah memainkan peran sentral dalam panggung horor ini.
Jika dunia ingin mencegah jatuhnya lebih banyak korban sipil, saatnya berani menyebut siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.
Bukan hanya menyerukan perdamaian, tapi juga membongkar kebohongan yang telah lama menjadi fondasi dari kebijakan luar negeri barat terhadap Timur Tengah.
*Kesimpulan dan Penutup*
Konflik Iran–Israel bukan terjadi dalam ruang hampa sejarah, melainkan hasil dari akumulasi manipulasi kekuasaan, arogansi ideologis, dan ketidakadilan global yang dibiarkan terus tumbuh.
Di balik label “keamanan nasional” dan “ancaman nuklir,” tersembunyi agenda-agenda tersembunyi yang lebih dalam yakni pelanggengan dominasi geopolitik, perlindungan kepentingan elite, serta pergeseran fokus dari krisis domestik yang tengah menggerogoti legitimasi para penguasa.
Donald Trump tidak semata-mata bergerak demi prinsip, tetapi juga demi kelangsungan politik pribadinya.
Netanyahu pun bukan bertindak demi rakyat Israel secara keseluruhan, melainkan demi mempertahankan kekuasaan dalam negeri dan supremasi wilayah.
Dalam drama ini, yang menjadi korban bukanlah para pemimpin yang berdialog di konferensi internasional, melainkan rakyat biasa di Teheran, di Gaza, di Tel Aviv, yang terbangun setiap pagi dalam bayang-bayang ketakutan.
Dunia internasional harus berhenti menjadi penonton pasif atau pemain hipokrit. Keadilan tidak bisa ditegakkan jika standar ganda terus dijadikan alat diplomasi.
Perdamaian tidak akan pernah hadir selama agresi dibenarkan hanya karena pelakunya adalah sekutu.
Kini saatnya memandang konflik ini bukan dari balik meja negosiasi yang dingin, tapi dari sudut pandang kemanusiaan yang hangus terbakar.
Pertanyaannya bukan lagi siapa menang dan siapa kalah, tapi siapa yang masih punya keberanian menyuarakan kebenaran, meski sunyi dan tak nyaman bagi kekuasaan.#Wallahu A’lam Bishawab🙏MK
SEMOGA BERMANFAAT
Al-Fakir. Munawir Kamaluddin