Innā lillāhi wa innā ilaihi rājiʿūn. “Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami akan kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156).
Ada kalanya ketika kata-kata terasa begitu kecil untuk menampung kesedihan. Hari ini, kita kehilangan seorang sahabat, saudara, sekaligus sosok yang telah memberi arti dalam diam: Dr. Bastian Jabir Patarai, M.Si. Berita duka ini datang bertubi, sore hari kami mendapat kabar bahwa beliau tengah dirawat di sebuah rumah sakit di Kabupaten Barru. Malam harinya, kabar itu berubah menjadi nyata, beliau telah wafat, kembali ke haribaan Ilahi dengan tenang.
Tiada manusia yang luput dari ajal. Sebab hidupnya adalah perjanjian sementara antara hamba dengan Tuhannya. Maka ketika waktu itu tiba, kita hanya bisa tunduk dan menerima. Allah SWT berfirman, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (QS. Ali-Imran: 185). Maka kami yakin, kepergian almarhum adalah pastilah bagian penting dari kasih sayang-Nya. Dia yang memberi, Dia pula yang mengambil, dan pada-Nya pula kita serahkan.
Kepergian Dr. Bastian Jabir bukanlah kehilangan bagi keluarga dan kerabat, tapi juga bagi mereka yang mengenalnya sebagai sosok santun, berpikiran jernih, dan berhati lapang. Meski saya pribadi tidak pernah memiliki kedekatan formal dengan beliau, kami berbeda kampus, berbeda organisasi, dan berbeda latar belakang, namun perkenalan kami tumbuh secara alami melalui ruang publik dan jaringan teman-teman jurnalis serta aktivis demokrasi.
Saya pertama kali mengenal namanya dari sebuah pemberitaan di media lokal Makassar, sekira lebih dari lima belas tahun lalu. Saat itu, beliau diminta menjadi narasumber untuk isu politik lokal, khususnya dinamika Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan. Analisisnya jujur dan mendalam, disampaikan dengan cara yang bijaksana. Dari situlah saya mulai mengikuti pemikiran politiknya. Dan dalam perjalanan waktu, kami pun akhirnya bersua, dan kemudian berteman.
Satu antara kenangan yang sangat membekas adalah ketika saya hendak berangkat ke Sydney, Australia pada tahun 2019. Meski saya tak pernah meminta, beliau menunjukkan kepedulian dengan mengirim seseorang untuk membantu saya mengurus keperluan di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Bagi sebagian orang, mungkin itu hal kecil. Tapi bagi saya, perhatian seperti itu menunjukkan kualitas hatinya, ringan tangan, respek, dan tulus membantu.
Di sisi lain, beliau juga pernah menghubungi saya ketika saya masih tinggal di Australia. Saat itu, beliau tengah menggalang dukungan untuk pembangunan masjid berbahan dasar kayu di kampung halamannya, di Kabupaten Pinrang. Masjid ini, menurutnya, bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga ingin dihadirkan sebagai destinasi religi yang memiliki nilai sejarah dan spiritual bagi masyarakat.
Proposal yang beliau kirimkan saya teruskan kepada komunitas diaspora, termasuk pengurus KKSS di Sydney. Alhamdulillah, respons yang kami terima sangat positif. Usahanya ini menandai smangat beliau dalam menautkan iman, budaya, dan identitas kampung halaman.
Dalam setiap interaksi dan komunikasi yang beliau bangun, kita melihat cerminan prinsip-prinsip luhur dari filsafat komunikasi. Bahwa komunikasi bukan sekadar pertukaran pesan, melainkan perjumpaan antar-subjek yang saling memanusiakan. Dr. Bastian tidak hanya berbicara dengan akal, tetapi juga dengan hati.
Ia hadir bukan untuk mendominasi percakapan, tetapi untuk mendengarkan, memahami, dan menjembatani. Dalam dirinya, komunikasi menjadi wujud dari kesadaran eksistensial, dimana bahwa kita ada karena saling terhubung, saling menguatkan.
Itulah almarhum—seorang intelektual yang tak melupakan akar, seorang cendekiawan yang peduli pada nilai-nilai Islam, dan seorang muslim yang menjadikan hidupnya sebagai jalan untuk memberi manfaat. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Dan dalam sosok Dr. Bastian, hadits ini menemukan bentuknya.
Lebih dari sekadar akademisi, beliau adalah pribadi yang tenang, rendah hati, dan gemar menebar kebaikan tanpa banyak bicara. Dalam kehidupan keseharian, ia dikenal sebagai sosok yang sabar dan tidak banyak menuntut. Ketekunannya dalam menjaga ibadah, kepeduliannya pada masyarakat, serta semangatnya dalam berkontribusi untuk hal-hal yang bersifat sosial, menjadi warisan hidup yang tak ternilai.
Kini, beliau telah kembali kepada Sang Pemilik Jiwa. Namun amalnya tak akan terputus. Dalam Islam, ketika seseorang wafat, amal yang terus mengalir adalah sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh.
Saya yakin, Dr. Bastian telah menanam semuanya. Dan semoga Allah terus melimpahkan pahala kepadanya dari setiap doa yang kita panjatkan, dari setiap ilmu yang ia bagi, dan dari setiap bangunan kebaikan yang ia rintis. Pun melapangkan kuburnya, mengampuni dosanya, dan menempatkannya di surga terbaik di sisi-Nya.***
Samata Gowa, 03 Juni 2025
Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar / Ketua PRIM NSW Australia 2021/2022