Oleh : Ismawan Amir
*Türkiye–Indonesia Scholars Network*
Subuh belum selesai beranjak dari langit Jakarta ketika rumah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terasa seperti siang hari. Di Kalibata, lampu ruang tamu menyala terang, kopi hitam mengepul di meja, dan Menteri Amran dengan koko putih rapi serta songkok hitam duduk menyambut dua tamu yang terbang jauh dari ujung negeri, Wali Kota Sabang dan Wali Kota Batam. Mereka datang membawa satu kegelisahan yang sama, keamanan pangan dan stabilitas dapur keluarga para petani.
Beberapa hari sebelumnya, Sabang heboh. Sebanyak 250 ton beras impor gelap disegel. Temuan itu memantik diskusi sengit, media memuat spekulasi, komentar saling bersahutan. Menteri Amran memilih langkah cepat menyudahi polemik. “Masalah ini sudah selesai, tidak perlu diperpanjang,” katanya. Keterangan itu menegaskan bahwa beras tersebut telah berizin dari Kemenko Pangan, hal yang juga ia jelaskan saat mengklarifikasi polemik ini kepada publik.
Sikapnya tegas. Ia ingin mengunci celah yang berpotensi merusak harga gabah di tingkat petani. Sebab bisa dibayangkan, satu kontainer beras impor yang melenggang tanpa kendali dapat meruntuhkan pendapatan keluarga di desa. Di titik ini ketegasan Menteri Amran menjadi benteng, menjaga agar para penyangga pangan negeri ini tetap bertahan di tengah pasar yang keras dan permainan impor yang kerap menekan mereka.
Dari Sabang, perhatian beralih ke Batam. Kota ini mendadak ramai setelah aparat menemukan 40 ton beras impor tanpa dokumen resmi. Pengusaha yang terlibat langsung meminta maaf kepada Menteri Amran, namun permintaan maaf tidak menutup fakta bahwa permainan impor masih bergerak melalui celah-celah gelap. Menteri Amran merespons cepat.
Ia mengingatkan arah besar negara. Pemerintah, kata Menteri Amran, tengah fokus pada kedaulatan pangan nasional, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. “Tak boleh ada beras masuk dari negara lain kalau stok kita banyak. Ini kehormatan bangsa kalau kita bisa berdaulat pangan,” ujarnya. Pernyataan itu lahir dari data produksi beras nasional yang menunjukkan kenaikan, sehingga impor tidak lagi mendesak.
Dalam konteks itu, langkah Menteri Amran di Batam menjadi sikap menutup ruang abu-abu yang selama ini menjadi pintu belakang distribusi. Setelah urusan beras ilegal selesai, ia memetakan arah baru bagi Batam, mendorong kota itu menjadi basis produksi hortikultura dan jagung. Langkah ini sejalan dengan strategi memperkuat wilayah perbatasan sebagai penyangga pangan, agar petani di sekitar Batam memiliki akses pasar lebih luas, bahkan sampai ke luar negeri.
Ketegasan Menteri Amran tidak berhenti di pelabuhan dan gudang. Di dalam kementeriannya sendiri, aturan yang ia pegang sama kerasnya. Ketika seorang staf terbukti meminta uang dari penerima bantuan alsintan dan mengaku sebagai pejabat dirjen, Menteri Amran langsung memecatnya, tanpa diskusi panjang. Baginya, bantuan untuk petani tidak boleh berkurang sebelum tiba di tangan mereka. Jika dikorupsi, bantuan itu bisa mengurangi produktivitas, bahkan mematahkan semangat petani untuk menanam.
Dalam banyak kesempatan, Menteri Amran selalu menegaskan bahwa pangan adalah urusan hidup mati rakyat. Ia tahu petani tidak mengikuti konferensi pers, tidak ikut rapat koordinasi, dan tidak menyimak dokumen kebijakan yang tebal. Mereka hanya merasakan dampaknya, apakah gabah dihargai pantas, apakah pasar dibanjiri beras impor, apakah bantuan benar-benar sampai dengan utuh.
Karena itu, setiap kebijakan Menteri Amran selalu kembali pada satu pertanyaan, apakah langkah ini melindungi petani. Jika ya, ia jalankan, jika tidak, ia hentikan. Di tengah birokrasi yang sering lambat dan berputar-putar, Menteri Amran memilih berpihak dan bergerak cepat. Ia tahu setiap keputusan tegas selalu mengundang kritik, tetapi ia memahami arah kompasnya, menjaga kedaulatan pangan dan memastikan dapur keluarga para petani tetap menyala.
Dari komentar publik yang memenuhi linimasa, terlihat harapan yang sama, agar ia terus menjaga pintu, menutup ruang permainan impor, dan berdiri bersama mereka yang hidupnya tidak pernah jauh dari tanah dan lumpur. Harapan itu tidak datang dari podium mewah, tetapi dari sawah, dari orang-orang yang bangun sebelum matahari, dari tangan yang menanam padi agar negeri ini tidak kelaparan.
Dan Menteri Andi Amran Sulaiman kembali memutuskan untuk berdiri bersama mereka, meskipun sering kali tidak populer, mereka yang menghidupi bangsa ini, para petani.
















