Oleh: Dr. Jumadi, S. Pd.I., M. Pd.I
Makassar — Setiap 1 Oktober bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum refleksi tentang pentingnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. Sejarah membuktikan, Pancasila menjadi benteng kokoh menghadapi berbagai ancaman ideologi.
Namun, realitas hari ini menunjukkan nilai Pancasila belum sepenuhnya membumi. Intoleransi, ujaran kebencian, kekerasan, dan praktik korupsi masih mewarnai kehidupan bangsa. Padahal sila pertama menekankan ketuhanan dan toleransi, sila kedua menegaskan kemanusiaan, dan sila kelima menuntut keadilan sosial.
Pancasila bukan sekadar teks, tetapi pedoman moral dalam bertindak. Ketika bangsa masih terpecah karena politik, pejabat sibuk memperkaya diri, dan masyarakat abai terhadap gotong royong, maka kesaktian Pancasila patut dipertanyakan. Apakah kita hanya berhenti pada simbol, tanpa menghadirkan substansinya?
Momentum 1 Oktober harus menjadi pengingat bahwa kesaktian Pancasila lahir dari praktik nyata. Pemerintah, pendidik, tokoh agama, ormas, dan media harus konsisten menanamkan nilai Pancasila. Elite politik pun wajib memberi teladan agar rakyat percaya.
Pancasila seharusnya hadir bukan hanya di panggung pidato, tetapi di ruang kelas, kantor, warung kopi, hingga jalanan tempat rakyat berinteraksi. Dengan begitu, Hari Kesaktian Pancasila bukan sekadar ritual sejarah, tetapi pijakan moral membangun Indonesia yang adil, bersatu, dan bermartabat sesuai tema 2025: “Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya.”
Biodata Penulis:
Jumadi (Jumadi Albimawi) adalah akademisi dan penulis aktif di bidang pendidikan, sosial, dan keagamaan. Selain mengajar, ia juga terlibat dalam kegiatan dakwah serta penguatan karakter berbasis nilai lokal dan spiritual.
Irfan Suba Raya
