Oleh: Dr. Jumadi, S.Pd.I., M.Pd.I.
Kerusakan alam yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia terutama di Pulau Sumatera yang mengakibatkan, banjir bandang, tanah longsor dan Gempa Bumi bukan lagi sekadar fenomena ekologis, melainkan krisis moral yang membutuhkan sudut pandang lebih dalam.
Data menunjukkan bahwa kerusakan hutan di Sumatera sebagian besar bukan terjadi secara alami, tetapi akibat ulah tangan manusia melalui pembalakan liar, alih fungsi hutan, industri ekstraktif, dan praktik ekonomi yang tidak berkelanjutan.
Dalam perspektif Islam, kerusakan ekologis seperti ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi pelanggaran terhadap amanah Tuhan, sekaligus cermin rusaknya karakter manusia dalam mengelola bumi.
- Kerusakan Alam sebagai Krisis Moral
Dalam Al-Qur’an, kerusakan alam dijelaskan sebagai akibat dari perilaku manusia yang melampaui batas:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini bukan hanya pengingat spiritual, tetapi kritik tajam terhadap perilaku eksploitatif. Ketika hutan ditebang tanpa kendali, sungai tercemar limbah industri, atau kebakaran lahan sengaja dilakukan demi kepentingan ekonomi, artinya kita sedang menyaksikan bagaimana kerusakan moral terwujud dalam bentuk kerusakan ekologis.
Islam memandang manusia sebagai khalifah fil ardh pengelola bumi, bukan perusak. Kerusakan alam adalah bukti bahwa sebagian manusia telah gagal menjalankan mandat tersebut, sehingga akibatnya, banjir bandang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan beberapa wilayah yang lain; kabut asap mengancam kesehatan anak-anak; habitat satwa punah; dan ekosistem semakin rapuh.
Krisis ini bukan hanya ekologis, tetapi spiritual. Ia menunjukkan bahwa manusia telah melepaskan dimensi ilahiah dalam berinteraksi dengan alam.
- Ayat Tuhan yang Diabaikan
Alam bukan sekadar objek produksi atau ruang eksploitasi, melainkan kitab terbuka yang memuat ayat-ayat Tuhan (ayat kauniyah) artinya Gunung, sungai, hutan, hewan, dan udara adalah bagian dari semesta yang sedang bertasbih. Maka ketika hutan dirusak, sesungguhnya manusia sedang merusak “ayat-ayat” yang harusnya dibaca dan direnungkan. Allah berfirman:
وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ
Tidak ada sesuatu pun, kecuali senantiasa bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka (QS. Al-Isra: 44).
Ketidakpedulian terhadap lingkungan adalah bentuk ketidakpekaan spiritual, karena manusia gagal menangkap hikmah alam sebagai cermin kebesaran Allah.
Kerusakan hutan yang menyebabkan banjir dan longsor bukanlah “kemarahan alam”, tetapi tanda bahwa manusia telah mengabaikan keteraturan yang ditetapkan oleh Tuhan.
Secara reflektif, musibah yang terjadi hari ini adalah peringatan ekologis agar manusia kembali pada pola hidup yang seimbang sebagaimana diperintahkan melalui konsep mizan (keseimbangan).
- Kritik terhadap Paradigma Eksploitasi
Pandangan Islam sangat mengkritik keras perilaku manusia yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek sambil mengabaikan kemaslahatan bersama. Kerusakan alam tidak lahir dari ketidaktahuan, tetapi dari keserakahan:
Pembukaan hutan untuk perkebunan skala besar,Penambangan tanpa restorasi,Pembakaran hutan yang disengaja,Lemahnya penegakan hukum dan
Kesadaran ekologis yang terabaikan.
Paradigma pembangunan yang hanya menilai alam sebagai komoditas bertentangan dengan prinsip tauhid, hal tersebut bukan hanya pengesaan Tuhan, tetapi filosofi bahwa seluruh ciptaan memiliki nilai intrinsik yang harus dihormati.
Dalam perspektif etika, alam bukan milik manusia, tetapi titipan, manusia hanya menerima mandat, bukan otoritas absolut. Oleh karena itu, eksploitasi yang merusak adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Ilahi.
- Membangun Kesadaran Ekologis Qur’ani
Umat Islam memiliki sumber nilai yang sangat kaya untuk membangun kesadaran ekologis:
Konsep tauhid sebagai kesatuan Tuhan dan ciptaan.Prinsip khalifah sebagai penjaga, bukan penguasa Nilai rahmatan lil ‘alamin sebagai kasih sayang bagi alam Larangan fasād (merusak)Perintah ‘imāratul ardh (memakmurkan bumi)Namun nilai-nilai tersebut sering berhenti sebagai teori, karena kerusakan alam di pulau Sumatera adalah bukti bahwa karakter ekologis umat belum tumbuh secara utuh. Maka pendidikan, dakwah, dan kebijakan publik harus diarahkan untuk membangun:
Kesadaran ekologis,Perubahan perilaku konsumsi,Praktik pembangunan berkelanjutan,
Serta budaya menjaga lingkungan sebagai ibadah.Dengan cara ini, umat tidak hanya membaca ayat Tuhan di mushaf, tetapi juga di hutan, sungai, dan gunung yang Allah ciptakan. - Menjadi Khalifah yang Bijaksana
Kerusakan alam adalah cermin dari kerusakan moral manusia sementara Islam mengajarkan bahwa bumi ini suci, dan manusia diberi amanah untuk menjaganya. Ketika manusia merusaknya, maka ia bukan hanya melanggar hukum ekologis, tetapi juga hukum spiritual yang telah Allah tetapkan.
Kini saatnya kembali menjadi khalifah yang arif dan bijaksana untuk menjaga bumi bukan karena kepentingan ekonomi, tetapi karena kesadaran iman bahwa menjaga alam adalah bagian dari pengabdian kepada Tuhan.
Irfan Suba Raya
















