Jakarta – Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) melalui agenda Fourteen Days Strategic Discussion (FDSD) Jilid Tiga menyampaikan kritik keras terhadap diplomasi iklim Indonesia pasca COP30 Brazil dan meminta evaluasi menyeluruh terhadap Perpres 110 Tahun 2025 tentang Percepatan Transisi Energi.
Diskusi bertema “Dari Fossil of the Day ke Net Zero 2060: Mengkritisi Konsistensi Diplomasi Iklim Indonesia – Menguji Relevansi Perpres 110 Tahun 2025 Pasca COP30 Brazil dan Darurat Bencana Alam di Sumatera” ini menghadirkan Uli Arta Trisnawati, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, dan diikuti pengurus serta kader KAMMI se-Indonesia.
PP KAMMI Nilai Diplomasi Iklim Indonesia Gagal Menjawab Krisis
Sekretaris Jenderal PP KAMMI, Syafrul Ardi, menegaskan bahwa diplomasi iklim Indonesia pada COP30 tidak menunjukkan komitmen serius terhadap penyelamatan lingkungan.
“Penganugerahan Fossil of the Day kepada Indonesia adalah sinyal keras bahwa dunia memandang kita tidak berkomitmen dalam agenda iklim. Ini bukan sekadar simbol, tetapi refleksi gagalnya diplomasi kita,” tegas Syafrul.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia memiliki posisi strategis sebagai salah satu negara yang masuk 10 besar penyumbang emisi global, sehingga ketidaktegasan sikap di COP menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.
Perpres 110/2025 Dinilai Tidak Menjawab Urgensi Iklim
Syafrul menyebut bahwa Perpres 110/2025 justru mengukuhkan ketergantungan Indonesia pada energi fosil.
“Perpres ini lebih banyak menjawab kepentingan korporasi ketimbang kepentingan rakyat. Tidak ada peta jalan penghentian energi fosil, tidak ada target kuantitatif penurunan emisi yang jelas, dan mekanisme transisinya sangat mudah diselewengkan menjadi greenwashing,” ujarnya.
Menurutnya, instrumen seperti perdagangan karbon, offset karbon, dan skema energi bersih yang tertulis dalam Perpres tersebut masih bersifat parsial dan tidak mandatory, sehingga tidak menghasilkan pengurangan emisi yang signifikan.
“Secara keseluruhan, Perpres ini lebih menonjolkan citra. Ia bisa dipakai sebagai pembungkus hijau bagi aktivitas yang tetap merusak,” tutup Syafrul.
WALHI: Kebijakan Iklim Dikuasai Korporasi, COP30 Tidak Sentuh Akar Masalah
Dalam paparannya, Uli Arta Trisnawati menegaskan bahwa arah kebijakan iklim Indonesia sangat dipengaruhi kepentingan korporasi besar.
“Banyak kebijakan energi dan iklim disusun bukan untuk kepentingan ekologi atau masyarakat, tetapi untuk mengakomodasi investasi korporasi. Ini problem struktural,” jelas Uli.
Uli menyoroti bahwa hingga COP30, dunia – termasuk Indonesia – tetap menolak mengadopsi komitmen tegas phase out fossil fuel.
“Istilah ‘phase out fossil fuel’ sekali pun tidak masuk ke dalam keputusan resmi COP hingga COP30. Tanpa penghentian total energi fosil, krisis iklim tidak akan pernah mereda,” tegasnya.
Ia juga memperingatkan bahaya transisi energi yang tidak berkeadilan.
“Transisi energi yang tidak memasukkan dimensi keadilan hanya akan menggusur masyarakat adat dan membuka ruang eksploitasi baru oleh korporasi,” tambahnya.
Uli menutup dengan kritik terhadap mekanisme offset karbon.
“Offset karbon pada praktiknya adalah izin untuk tetap mencemari. Karena itu koreksi kebijakan dan tekanan publik menjadi sangat penting.”
IPCC: Dunia Tak Lagi di Jalur 1,5°C – Indonesia Harus Berani Mengambil Sikap
Rilis IPCC terbaru menunjukkan bahwa dunia berpotensi melewati batas aman 1,5°C dalam dekade ini.
Untuk mencegahnya, emisi global harus berkurang 43% sebelum 2030, namun banyak negara termasuk Indonesia justru:
memperluas penggunaan batu bara,
mempertahankan target Net Zero yang lambat (2060),
dan belum memiliki jadwal penghentian energi fosil.
KAMMI menilai ketidaktegasan Indonesia di COP30 memperburuk situasi, terutama karena Indonesia memiliki hutan tropis dan sumber daya energi terbarukan yang besar, tetapi tidak menggunakannya sebagai alat diplomasi strategis.
Tren Bencana Hidrometeorologi Menguatkan Kegagalan Kebijakan Iklim
PP KAMMI juga menyoroti meningkatnya bencana hidrometeorologi di Sumatera dalam beberapa pekan terakhir. BNPB mencatat bahwa lebih dari 90% bencana di Indonesia setiap tahun adalah bencana hidrometeorologi: banjir, longsor, cuaca ekstrem, dan gelombang tinggi.
Intensitas curah hujan ekstrem dan anomali laut menunjukkan dampak langsung perubahan iklim di Indonesia.
KAMMI menilai respons pemerintah masih jauh dari cukup.
Adaptasi masyarakat belum diperkuat.
Tata kelola lingkungan masih lemah.
Dan regulasi iklim tidak mencerminkan urgensi bencana di lapangan.
Seruan PP KAMMI: Negara Tidak Boleh Absen dalam Krisis Iklim
PP KAMMI mendesak pemerintah untuk:
- Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Perpres 110/2025
Agar regulasi tersebut benar-benar menghasilkan pengurangan emisi, bukan sekadar agenda investasi hijau.
- Mengambil sikap tegas di fora internasional seperti COP
Termasuk mendorong adopsi agenda phase out fossil fuel dan penegakan target iklim yang ambisius.
- Memprioritaskan keselamatan rakyat dalam kebijakan energi dan iklim
Terutama wilayah-wilayah rentan seperti Sumatera yang kini terus diterpa bencana hidrometeorologi.
“Krisis iklim bukan ancaman masa depan—ini sudah terjadi hari ini. Dari diplomasi internasional hingga Perpres nasional, pemerintah harus menunjukkan komitmen nyata, bukan retorika,” tutup PP KAMMI dalam pernyataannya.
















