Oleh : Muhammad Irfanudin Kurniawan
Dosen Universitas Darunnajah
Setiap pesantren punya cerita. Tentang keikhlasan yang tidak pernah diumumkan, tentang perjuangan yang jarang disorot kamera, dan tentang bagaimana semua berjalan dengan sumber daya yang sering kali terbatas. Tapi justru di situlah letak keindahannya. Pesantren mengajarkan kita satu hal penting, bahwa manajemen terbaik bukan selalu tentang anggaran besar atau teknologi mutakhir, melainkan tentang niat, kebersamaan, dan kemampuan beradaptasi.
Pesantren bukan sekadar tempat menimba ilmu agama. Ia adalah ekosistem pembelajaran yang hidup, tempat manajemen, kepemimpinan, dan spiritualitas berpadu tanpa disadari. Santri belajar disiplin lewat waktu mengaji yang ketat. Kiai mengelola sumber daya manusia tanpa gelar manajemen, tapi dengan basyirah, petunjuk langsung dari Allah. Dapur yang selalu cukup untuk ratusan santri menjadi bukti bahwa di balik kesederhanaan, ada tata kelola yang berjalan secara organik. Dari sinilah kita belajar, pesantren tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga cara mengelola kehidupan.
Kesadaran sederhana ini melahirkan gagasan baru di Universitas Darunnajah (UDN), untuk melahirkan Program Magister Manajemen Pendidikan Islam (MPI) konsentrasi Manajemen Pesantren. Program ini tidak dimaksudkan untuk menjadikan pesantren seperti korporasi, melainkan untuk memperkuat kapasitasnya agar bisa terus relevan di tengah perubahan zaman. Di dunia yang semakin kompleks, pesantren perlu strategi agar nilai-nilai lama tetap hidup dalam sistem yang baru. Manajemen di sini bukan soal spreadsheet dan laporan keuangan, tapi tentang cara berpikir, bagaimana mengelola niat baik menjadi langkah yang berdampak nyata.
Begitu juga buku Manajemen Pondok Pesantren. Buku ini lahir dari perjalanan panjang itu. Ia tidak ditulis di ruang ber-AC, melainkan dari percakapan nyata antara kiai, ustaz, dan para santri. Isinya bukan teori asing, tapi refleksi atas praktik yang selama ini sudah berjalan, hanya saja belum sempat disusun secara sistematis. Buku ini tidak ingin menggurui, tapi ingin mengingatkan bahwa pesantren juga perlu strategi. Karena mempertahankan nilai lama di tengah sistem baru bukan perkara sederhana. Ia butuh kecerdasan, keberanian, dan keteguhan.
Di dunia modern, banyak lembaga pendidikan sibuk mengejar standar akreditasi, tapi lupa menjaga jiwa pendidikannya. Pesantren justru sebaliknya, ia menjaga nilai itu, meski kadang tertinggal secara sistem. Di sinilah pentingnya gagasan manajemen yang memiliki jiwa, sistem yang tidak mematikan spiritualitas, tapi justru menghidupkannya dengan keteraturan.
Mungkin ini bukan kado dalam arti biasa. Tidak dibungkus pita, tidak diiringi tepuk tangan. Tapi kalau kado adalah sesuatu yang membuat penerimanya bahagia, maka inilah salah satunya, sebuah pikiran, sebuah langkah kecil menuju masa depan pesantren yang lebih terkelola, lebih percaya diri, dan tetap berpegang teguh pada nilai.
Karena masa depan pesantren tidak ditentukan oleh seberapa besar dana yang dimiliki, melainkan oleh seberapa dalam ia memahami dirinya sendiri. Dan memahami diri, sebagaimana mengelola pesantren, selalu dimulai dari kesadaran, keikhlasan, dan keberanian untuk berubah.
Sebagai penutup, syaikh Shaltut, grand syaikh Al-Azhar pernah mengingatkan ketika berkunjung ke Indonesia bahwa pesantren bukan karena bangunannya yang megah atau santrinya yang banyak tapi karena jiwa dan falsafah hidupnya.
Ini yang harus terus diingatkan kepada generasi selanjutnya. Dan harus kita sadari bahwa menjaga jiwa dan falsafah pesantren membutuhkan manajemen serta strategi.
















