Penulis : Yanuardi Syukur
Peneliti Timur Tengah, Dosen Antropologi Universitas Khairun
Salah satu narasi yang gencar diangkat, misalnya oleh American Jewish Committe (AJC), adalah klaim bahwa Israel bukan negara kolonial pemukim, melainkan semata tanah air orang Yahudi sejak Zaman Perunggu.
Dalam sebuah postingan AJC di lamannya, tertulis: “As Israel continues to defend itself against the terrorist group Hamas, a war of information is unfolding around the world. One of the slogans most commonly used claims Israel is a “settler colonial enterprise.” By charging Israel with colonizing Palestinians, Hamas and its supporters are manipulating the cause of racial justice to advance their terrorist goals – all while hoping no one notices Israel has been the homeland of the Jewish people since the Bronze Age.”
Narasi ini dimunculkan untuk membantah tudingan bahwa Israel melakukan kolonialisme pemukim (settler colonialism) di Palestina. Namun, jika ditelaah secara antropologis, historis, dan politik, klaim tersebut adalah problematis dan justru berfungsi sebagai legitimasi ideologis atas praktik pendudukan dan pengusiran masyarakat Palestina dari tanahnya.
Pertama, kolonialisme pemukim sebenarnya tidak semata-mata ditentukan oleh mitos asal-usul kuno, tetapi oleh praktik modern yang menyingkirkan penduduk asli demi kepentingan pemukim baru. Sejarah mencatat, proyek kolonialisme pemukim Israel berakar pada gerakan Zionisme abad ke-19 yang disokong oleh kekuatan kolonial Eropa, khususnya Inggris melalui Deklarasi Balfour (1917). Kedatangan besar-besaran imigran Yahudi ke Palestina pada periode mandat Inggris itu diiringi penguasaan lahan dan pengusiran masyarakat lokal. Ini adalah pola khas kolonial pemukim, yakni pendatang yang didukung kekuatan kolonial bersatu padu untuk menyingkirkan populasi asli.
Kedua, penggunaan narasi religius-historis “tanah air sejak Zaman Perunggu” adalah bentuk mythistory, yaitu sejarah yang disusun untuk melayani kepentingan politik kontemporer. Klaim ini mengabaikan ribuan tahun sejarah komunitas lain, yakni Arab, Muslim, Kristen, dan Yahudi lokal, yang hidup berdampingan (co-existence dan pro-existence) di Palestina. Dengan kata lain, mitos sejarah digunakan untuk menutup-nutupi realitas politik, yaitu pendudukan militer, pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat, serta blokade yang menindas kehidupan masyarakat sipil Gaza.
Ketiga, menyebut kritik terhadap Israel sebagai propaganda Hamas atau sekadar “perang informasi” juga merupakan upaya delegitimasi wacana global tentang keadilan. Banyak akademisi, sejarawan, dan lembaga internasional—termasuk PBB—menegaskan bahwa praktik Israel memiliki ciri kolonial pemukim: perampasan tanah, pemindahan paksa, diskriminasi struktural, dan usaha sistematis menghapus identitas Palestina. Menganggap semua kritik terhadap Israel sebagai bentuk dukungan terhadap terorisme hanya akan mengaburkan isu utama: pelanggaran hak asasi manusia dan keadilan bagi rakyat Palestina.
Artinya, narasi bahwa Israel bukan negara kolonial pemukim justru membalikkan fakta sejarah dan politik. Kritik atas narasi tersebut adalah penting, bukan semata untuk membela Palestina, tetapi untuk menegakkan prinsip keadilan universal. Identitas dan tanah sejatinya adalah hasil relasi sosial-historis yang panjang, bukan sekadar klaim mitos untuk membenarkan penindasan. Oleh karena itu, menurut saya, dunia internasional seharusnya lebih kritis terhadap wacana yang menutupi kolonialisme dengan bungkus sejarah suci sejak Zaman Perunggu tersebut.