Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Ironi Keadilan Sosial: Negara Meningkatkan Gaji Hakim Sementara Nakes Terlunta dalam Ketidakpastian

5
×

Ironi Keadilan Sosial: Negara Meningkatkan Gaji Hakim Sementara Nakes Terlunta dalam Ketidakpastian

Sebarkan artikel ini

oleh : Muhammad Raid Nabhan, Ketua Bidang Penelitian dan Partisipasi Pembangunan Kesehatan LKMI HMI Cabang Makassar Timur

Dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan sosial, kebijakan negara seharusnya mencerminkan skala prioritas yang berpihak pada kepentingan publik luas, terutama sektor pelayanan dasar seperti kesehatan. Namun, kenyataan terkini menunjukkan adanya disparitas yang mencolok antara kebijakan negara terhadap lembaga yudikatif dan sektor kesehatan.

Example 500x700

Pada 12 Juni 2025, Presiden Republik Indonesia mengumumkan kenaikan gaji hakim secara drastis hingga 280%, sebuah lonjakan yang dinilai sebagai bagian dari upaya meningkatkan integritas peradilan. Kenaikan ini disambut dengan berbagai pandangan kritis. DPR melalui Ketua Puan Maharani menyatakan bahwa kenaikan tersebut harus disertai dengan reformasi sistemik dalam lembaga kehakiman agar sejalan dengan prinsip keadilan dan transparansi. Namun, sejumlah pengamat mengkritik bahwa langkah ini hanya memperbaiki permukaan tanpa menyentuh akar masalah integritas aparat hukum.

Sebaliknya, Pada Mei–Juni 2025, kondisi kesejahteraan tenaga kesehatan kembali menjadi sorotan publik saat Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, melakukan inspeksi mendadak ke RS Rawalumbu pada 28 Mei dan mendapati bahwa gaji nakes terlambat dibayarkan selama tiga bulan. Pemerintah daerah kemudian berjanji akan menuntaskan seluruh tunggakan pada awal Juni 2025. Kasus serupa terungkap di RSUD Ende, di mana nakes tidak menerima gaji dan insentif sejak Desember 2024 hingga Februari 2025, meskipun pihak rumah sakit menyatakan akan segera mencairkan seluruh tunggakan. Bahkan, RSUD Junjung Besaoh di Bangka Selatan mengakui keterlambatan pembayaran insentif sampai akhir 2024 dan baru akan menuntaskan setelah adanya regulasi baru pada April 2025. 

Sebaliknya, pada 12 Juni 2025, Presiden mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280%, termasuk bagi hakim junior, sebagai bagian dari upaya memperkuat integritas peradilan. Ketimpangan ini mencerminkan kebijakan fiskal yang timpang: penghargaan besar bagi institusi yudikatif, sementara tenaga kesehatan yang memikul beban besar dalam pelayanan publik terhalang oleh administrasi dan tata kelola anggaran. Dari sudut pandang teori keadilan distributif dan manajemen publik, alokasi semacam ini berpotensi menggerus moral, motivasi, dan kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan nasional serta negara secara keseluruhan.

Kondisi ini menimbulkan ironi kebijakan: negara memberikan prioritas fiskal untuk aparat hukum yang dalam banyak kasus masih dipertanyakan akuntabilitasnya sementara menunda hak-hak dasar para tenaga medis yang telah berjasa besar dalam menjaga ketahanan sistem kesehatan, terutama pasca-pandemi. Kebijakan yang timpang ini bertentangan dengan prinsip keadilan distributif dan perlindungan hak konstitusional sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.

Lebih jauh lagi, ketimpangan ini dapat mengganggu moral kolektif dan rasa keadilan sosial. Nakes yang bekerja dengan risiko tinggi dan waktu kerja yang panjang tidak mendapatkan penghargaan yang layak secara material, sedangkan profesi yang memiliki potensi konflik kepentingan justru menikmati kenaikan penghasilan yang signifikan.

Situasi ini menuntut perombakan dalam prioritas kebijakan publik. Pemerintah tidak cukup hanya memberikan insentif simbolik kepada sektor kesehatan; perlu komitmen anggaran yang adil, sistem pelaporan keuangan yang efisien, serta pengawasan ketat terhadap alokasi anggaran. Kesejahteraan tenaga kesehatan adalah investasi jangka panjang bagi kualitas hidup masyarakat, dan pengabaian terhadap mereka berarti melemahkan fondasi sistem kesehatan nasional.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Opini

dr.Dewi Setiawati Dosen FKIK UIN Alauddin Makassar Panjang…