Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Berita

Dugaan Pelanggaran HAM Berat Mengintai, Publik Tunggu Sikap Tegas Polda Sulsel

19
×

Dugaan Pelanggaran HAM Berat Mengintai, Publik Tunggu Sikap Tegas Polda Sulsel

Sebarkan artikel ini

Makassar – Harapan masyarakat terhadap semangat PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan) yang digaungkan Kapolri, berbanding terbalik dengan kenyataan yang dialami Ishak Hamzah, warga Makassar yang merasa menjadi korban kriminalisasi oleh oknum aparat kepolisian. Ishak menilai, konsep PRESISI Polri “mandul” dalam penegakan keadilan terhadap dirinya sebagai masyarakat kecil yang mencari kebenaran.

Ishak Hamzah baru saja menjalani masa penahanan selama 58 hari di Rumah Tahanan (Rutan) Polrestabes Makassar, terkait laporan Polisi nomor LP/790/XII/2021/SPKT/Restabes Makassar, tanggal 17 Desember 2021. Ia disangkakan atas dugaan penyerobotan lahan berdasarkan Pasal 167 KUHP serta Pasal 263 ayat (2) tentang pemalsuan dokumen. Namun, menurut pengakuan Ishak, seluruh proses hukum yang dijalaninya penuh kejanggalan, tekanan, dan penyimpangan dari asas keadilan.

Example 500x700

“Saya ini hanya mempertahankan hak atas tanah warisan keluarga. Tapi saya justru dijadikan tersangka, bahkan ditahan selama hampir dua bulan. Ini bukan lagi penegakan hukum, tapi pembunuhan karakter dan penindasan hukum terhadap saya sebagai orang kecil,” ujar Ishak dengan nada getir saat ditemui di Makassar, Senin (20/10/2025).

Sengketa Lahan yang Berlarut-larut

Perjuangan Ishak Hamzah mempertahankan hak atas tanah warisan keluarganya telah berlangsung sejak tahun 2011. Ia dan almarhum ayahnya, Hamzah Dg Taba, berhadapan dengan pihak-pihak yang diduga memiliki kepentingan besar untuk menguasai lahan warisan mereka di Kelurahan Barombong, Kota Makassar.

“Sudah lima belas tahun saya berjuang. Dulu waktu bapak saya masih hidup, kami berdua sering dilaporkan ke polisi. Sekarang setelah bapak meninggal, perjuangan ini saya teruskan sendiri,” ujarnya lirih.

Ishak mengaku, laporan-laporan terhadap dirinya kerap datang silih berganti. Puncaknya terjadi ketika ia dilaporkan oleh seorang perempuan berinisial Hj. WSR, yang menuduhnya melakukan penyerobotan lahan. Laporan itu menjadi dasar bagi penyidik untuk menjerat Ishak dengan Pasal 167 KUHP.

Menurut Ishak, dasar hukum yang digunakan penyidik sangat lemah dan dipaksakan. Dua alat bukti yang digunakan penyidik adalah buku F milik Kelurahan Barombong, yang tidak terdapat nama kakek Ishak, Soeltan bin Soemang, sebagai pemilik tanah, serta patok tanah dan pos penjagaan sederhana yang terbuat dari kayu.

“Buku F yang dijadikan dasar bukti itu hanyalah salinan, bukan dokumen asli. Tidak ada satu pun pejabat yang berani menjamin keaslian isi salinan buku F tersebut. Lalu bagaimana mungkin buku F yang bersifat salinan yang tak terjamin keutuhan isinya kemudian dijadikan bukti final oleh penyidik untuk memidanakan saya?” tegas Ishak.

Ishak juga menjelaskan bahwa patok tanah dan pos penjagaan itu berdiri di atas lahan yang mereka kuasai secara sah, dengan dasar sejumlah dokumen resmi seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sporadik penguasaan fisik, penetapan kewarisan dari Pengadilan Agama, serta surat keterangan PBB dari pihak kelurahan atas nama Hamzah Dg. Taba. Selain itu, terdapat pula penjelasan dari Direktorat Jenderal Pajak Pratama yang memperkuat kepemilikan mereka.

Laporan ke Propam dan Munculnya Pasal Tambahan

Merasa diperlakukan tidak adil, Ishak dan kuasa hukumnya melaporkan perilaku penyidik ke Bidang Propam Polda Sulsel. Namun, langkah itu justru membuka babak baru yang lebih mengejutkan.

“Setelah kami melapor ke Propam dan diundang untuk gelar perkara di Wasidik Polda Sulsel, tiba-tiba muncul pasal tambahan 263 ayat (2) tentang pemalsuan dokumen. Ini aneh dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin pasal itu muncul belakangan tanpa dasar yang jelas,” ungkapnya.

Menurut Ishak, penambahan pasal tersebut semakin memperlihatkan adanya indikasi kriminalisasi terhadap dirinya. Ia menduga kuat bahwa pelapor memiliki “power” atau pengaruh besar yang membuat aparat bertindak tidak netral.

“Dugaan saya, ada kekuatan besar di balik pelapor. Karena itu, laporan kami ke Propam seolah tidak digubris. Saya hanya berharap jangan sampai Propam Polda Sulsel ikut main mata, sebab itu sama saja membiarkan pelanggaran HAM berat terjadi di tubuh kepolisian sendiri,” tegasnya.

Tanggapan Kuasa Hukum

Kuasa hukum Ishak Hamzah, Maria Monika Veronika Hayr, S.H., menilai bahwa kasus yang menimpa kliennya mengandung banyak kejanggalan prosedural. Menurutnya, penyidik seharusnya tidak bisa menjadikan buku F salinan sebagai alat bukti tunggal untuk membuktikan kepemilikan lahan, apalagi ketika dokumen itu tidak memiliki keabsahan hukum.

“Kalau bicara hukum agraria, pembuktian kepemilikan tidak bisa hanya didasarkan pada buku F salinan. Harus ada pengakuan administratif dan historis. Apalagi lahan itu sudah lama dikuasai keluarga Ishak secara turun-temurun. Maka, unsur pasal 167 tentang ‘memasuki pekarangan orang lain tanpa izin’ menjadi gugur dengan sendirinya,” jelasnya.

Ia menambahkan, penambahan Pasal 263 ayat (2) setelah pelaporan ke Propam justru memperlihatkan adanya indikasi intimidasi balik terhadap korban.

Harapan Akan Keadilan

Kini, setelah melalui 58 hari di balik jeruji dan bertahun-tahun menghadapi tekanan psikologis, Ishak Hamzah tetap bertekad melanjutkan perjuangan hukumnya. Ia percaya bahwa kebenaran tidak bisa ditutupi selamanya.

“Saya tidak mencari belas kasihan. Saya hanya ingin keadilan ditegakkan. Tanah ini bukan hanya milik saya, tapi simbol perjuangan keluarga saya selama puluhan tahun. Kalau negara tidak bisa melindungi rakyat kecil, lalu untuk siapa hukum itu dibuat?” katanya menutup pembicaraan dengan mata berkaca-kaca.

Maria Monika menambahkan bahwa kedatangannya bersama kliennya ke Polda Sulawesi Selatan, Selasa (21/10/2025) bertujuan untuk menanyakan sejauh mana tindak lanjut hasil penambahan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) beberapa waktu lalu. Pihaknya juga telah melayangkan laporan balik dan berharap agar Polda Sulsel menunjukkan ketegasan dalam menindaklanjuti laporan tersebut.

Ujian Bagi Integritas Penegak Hukum

Kasus Ishak Hamzah kini menjadi ujian bagi integritas lembaga penegak hukum di Sulawesi Selatan. Dugaan pelanggaran serius, termasuk indikasi pelanggaran HAM berat, kini menjadi sorotan. Masyarakat menunggu komitmen Polri untuk bertindak profesional dan tidak ragu menjatuhkan sanksi PTDH terhadap pihak-pihak yang terbukti mencederai prinsip PRESISI.

Apakah aparat berani membuka tabir dugaan penyalahgunaan wewenang, atau justru membiarkan status quo yang selama ini menggerogoti rasa keadilan publik?

Yang jelas, suara seorang warga bernama Ishak Hamzah kini menggema sebagai peringatan: bahwa hukum tanpa nurani hanyalah kekuasaan yang berwajah dingin, dan “PRESISI” tanpa keadilan hanyalah slogan yang kehilangan makna.

TIM RED

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *