Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Opini

”ANARKISME DIJALAN: Luka Bangsa atau Alarm Keadilan?”

3
×

”ANARKISME DIJALAN: Luka Bangsa atau Alarm Keadilan?”

Sebarkan artikel ini

Oleh: Munawir Kamaluddin (Guru Besar UIN Alauddin)

Mari sejenak kita berhenti dari kebisingan dunia, menutup gawai, menundukkan kepala, dan bertanya pada diri sendiri, apa yang lebih dulu padam dalam jiwa kita, rasa kasih kepada sesama, atau rasa takut kehilangan kepentingan pribadi?

Example 500x700

Saat jalanan dipenuhi amarah, apakah yang sejatinya kita tuntut adalah keadilan, atau sekadar melampiaskan balas dendam?

Dan jika negara adalah rumah bersama, tidakkah lebih bijak kita memperbaiki pintu yang bocor alih-alih saling menuduh tetangga?

Pertanyaan-pertanyaan itu bukan sekadar renungan kosong. Ia adalah dentuman yang mengguncang nurani, sebuah ajakan untuk keluar dari zona nyaman kompromi yang terlalu lama meninabobokan kita.

Beberapa hari lalu, amarah massa pecah seperti badai di jalanan kota. Di tengah kericuhan itu, seorang nyawa muda, Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, meregang nyawa.

Tragedi itu mengubah arah suasana, dari protes yang menuntut keadilan dan reformasi anggaran, menjadi gelombang emosi yang menantang batas.

Kota yang berdebu mendadak jadi panggung, ada teriakan, ada vandalisme, ada solidaritas, tapi juga ada linangan air mata.

Namun kisah ini bukan sekadar hitam dan putih, bukan pertarungan sederhana antara “orang baik” dan “orang jahat.”

Ia adalah simfoni getir, kekecewaan yang menumpuk, hukum yang diragukan, elit yang semakin jauh dari penderitaan rakyat, serta massa yang, ketika berkumpul, kehilangan kendali diri, kerumunan yang mampu menyalakan nyali untuk bertindak sesuatu yang sendirian takkan berani dilakukan.

Luka itu kian perih ketika ucapan atau kebijakan elit justru menyiram bensin ke api yang nyaris padam.

Isu tunjangan DPR, misalnya, hadir bak bara tambahan yang memperlebar jurang antara rakyat dan penguasa.

Ketika saluran aspirasi macet, protes mudah terjerembab menjadi anarki, aksi yang mulia bisa berubah menjadi tindak kriminal apabila bercampur dengan provokasi, penyusupan, dan kehilangan legitimasi.

Cara perjuangan menentukan berkah hasilnya.

Dalam riuh rendah itu, Al-Qur’an dan Sunnah menyalakan cahaya petunjuk. Allah memerintahkan kita untuk berlaku adil, berbuat baik, dan memberi pada kerabat.

Ia menegaskan agar orang beriman menjadi penegak keadilan, bahkan bila itu melawan kepentingan diri sendiri.

Rasulullah SAW. mengingatkan agar lidah tak sembarangan. berkata yang baik atau diam. Umar bin Khattab menasehatkan, “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab.” Dan pepatah ulama klasik menegaskan, al-‘adlu asasul mulk , keadilan adalah fondasi tegaknya pemerintahan.

Semua ini bermuara pada satu hal, tanpa keadilan, bangsa runtuh, tanpa akhlak dalam ucapan, elite berubah menjadi api yang menyulut, tanpa muhasabah, baik rakyat maupun pemimpin bisa terseret arus destruktif.

Dari sinilah kita mengerti bahwa anarkisme bukanlah watak dasar anak bangsa.

Ia bukan DNA yang diwariskan, melainkan gejala sosial, sebuah reaksi spontan, protes yang mencari saluran.

Ia lahir dari ketidakadilan yang menumpuk, dari krisis kepercayaan pada institusi, dari provokasi dan penyusupan yang menyelinap dalam kerumunan, dari psikologi massa yang mengikis akal sehat individu, dan dari retorika elit yang semestinya menyejukkan namun justru memanaskan.

Ciri-cirinya terlihat jelas yakni hilangnya kontrol, munculnya kekerasan simbolis pada fasilitas publik, amarah yang menyebar cepat lewat media sosial, hingga kaburnya batas antara aspirasi sah dan kriminalitas.

Mari jujur pada diri kita sendiri. Sebagian elit bangsa, baik di legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, maupun ormas, lebih sering mendahulukan kepentingan pribadi ketimbang kolektif.

Pernyataan mereka kerap jauh dari empati, kebijakan mereka seringkali terasa hanya menguntungkan segelintir.

Namun kritik ini tak boleh membabi buta. Masih ada yang tulus, masih ada yang mau mendengar.

Karena itu, solusinya bukan sebatas mencaci, melainkan membangun sistem yang mampu mencegah kepentingan pribadi menelan kepentingan rakyat.

Jalan keluar selalu ada, selama ada niat baik dan komitmen moral. Dalam jangka pendek, negara mesti segera mengusut tuntas tragedi Affan Kurniawan secara independen dan transparan, menghentikan retorika provokatif, menegakkan hukum secara adil baik kepada aparat yang melampaui batas maupun kepada perusuh yang merusak, serta memberi kompensasi nyata bagi keluarga korban.

Dalam jangka menengah, prosedur pengendalian massa harus direformasi agar mengutamakan de-eskalasi, kanal pengaduan publik perlu dibuka dengan transparansi, anggaran pejabat harus dibuka untuk diaudit, dan keadilan dipulihkan lewat peradilan yang cepat, bersih, dan adil.

Sedangkan dalam jangka panjang, bangsa ini perlu menanamkan pendidikan etika publik, literasi media, dan Pancasila sejak dini, memperkuat jaringan sosial-ekonomi kelompok rentan; serta membudayakan kepemimpinan yang akuntabel, bermuhasabah, dan menegakkan keadilan.

Namun langkah-langkah itu takkan berarti tanpa partisipasi semua pihak. Pemerintah mesti transparan dan rendah hati.

DPR harus berani membuka data tunjangannya dan mendengar suara rakyat.

Aparat wajib proporsional, tidak menambah luka baru. Politisi dan elit publik harus berhenti menyiram bensin lewat kata-kata sembrono.

Media dan influencer harus mengedepankan verifikasi dan martabat.

Masyarakat sendiri harus menjaga agar protes tetap damai, jangan sampai pesan mulia ternoda oleh kekerasan.

Pada akhirnya, tragedi Affan Kurniawan bukan sekadar kisah pilu individu, melainkan cermin yang menyorot wajah bangsa.

Dari situ kita belajar bahwa keadilan bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan pokok dalam hidup bersama.

Mari kita mulai dari hal sederhana, berkata yang menyejukkan, menegakkan hukum yang adil, dan berani menghitung diri sebelum kelak dihitung.

Anarkisme memang luka, tapi ia bukan watak kita. Ia hanya tanda bahwa ada sesuatu yang salah pada tubuh bangsa ini, sesuatu yang menunggu disembuhkan.

Dan obat itu bernama keadilan, empati, dan komitmen moral. Bila semua elemen bangsa mau menegakkannya, jalan kita tak lagi berdebu oleh amarah, melainkan ditumbuhi pohon keadilan yang menaungi seluruh anak negeri.

Wallahu A’lam Bis-Sawab🙏MK

SEMOGA BERMANFAAT
Al-Fakir.Munawir Kamaluddin

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *