Oleh: Dr. Jumadi, S.Pd.I., M.Pd.I. (Dosen Universitas Negeri Yogyakarta)
“Guru adalah lentera yang tak pernah padam, meski zaman terus berubah arah.”
Setiap 25 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Guru Nasional, sebuah momentum untuk merenungkan kembali betapa strategisnya peran seorang seorang pendidik dalam kehidupan berbangsa. Peringatan ini bukan hanya seremoni pengingat jasa, tetapi sebuah refleksi mendalam tentang bagaimana mereka membentuk karakter, nilai dan masa depan generasi. Di tengah hiruk-pikuk perubahan dunia, sosoknya menjadi jangkar yang menjaga arah kemanusiaan agar tidak terombang-ambing.
Di era modern, keberadaan sang pendidik menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Tidak hanya dituntut menguasai materi, mereka harus mampu membaca perkembangan zaman, memahami psikologi siswa, serta membangun komunikasi yang selaras dengan kebutuhan generasi digital. Namun justru di situlah tampak keistimewaan sang penjaga peradaban mereka tidak pernah mengeluh, tetapi terus menyesuaikan diri untuk memberikan yang terbaik.
Guru adalah profesi yang menyimpan ketulusan, mereka hadir sebagai cahaya dalam ruang-ruang belajar yang mungkin sederhana, namun memiliki kekuatan mengubah kehidupan banyak orang. Setiap langkah seorang murid menuju masa depan, sesungguhnya diiringi langkah-langkah diam seorang mereka di belakangnya.
Arti Kemanusiaan
Pendidik tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk manusia seutuhnya. Dalam setiap pelajaran, mereka mengajarkan kesabaran; dalam setiap teguran, mereka menanamkan kedisiplinan; dan dalam setiap senyum, mereka memberikan harapan. Di ruang kelas, sang ia tidak hanya mencerdaskan pikiran, tetapi juga menghangatkan hati dan meneguhkan moral.
Kemanusiaan seorang pendidik tampak pada caranya memahami setiap anak didik sebagai pribadi unik misalnya ada murid yang cepat dan lambat memahami pelajaran; ada yang pendiam, juga yang ekspresif, dirinya tetap berusaha merangkul semuanya dengan kesabaran, tanpa membeda-bedakan. Sikap ini menunjukkan bahwa pendidikan samadengan proses memanusiakan manusia bukan sekadar mencetak angka dan prestasi.
Dalam konteks Islam, guru disebut sebagai waratsatul anbiya’ pewaris tugas para nabi, artinyha mereka bukan hanya pengajar, tetapi penuntun jalan, menanam nilai kejujuran, kesantunan dan kepedulian, yang kelak menjadi pelita ketika seorang murid menghadapi pilihan moral dalam hidupnya. Inilah nilai kemanusiaan yang tidak bisa digantikan oleh teknologi apa pun.
Arus Gelombang Teknologi
Era digital menghadirkan tantangan monumental bagi dunia pendidikan. Informasi tersedia di ujung jari dan kecerdasan buatan dapat mengajarkan banyak hal secara cepat. Namun teknologi tidak memiliki hati, Ia tidak bisa memberi empati, membangun karakter atau memahami konteks emosional seorang anak. Di sinilah guru tetap menjadi figur sentral dalam pendidikan, mereka bukan sekadar penyampai pengetahuan, tetapi penafsir kehidupan, membantu siswa memilah informasi, menghubungkannya dengan nilai-nilai, serta menjadikan ilmu lebih bermakna. Dalam derasnya arus informasi, mereka juga datang sebagai kompas moral yang membantu siswa membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang merugikan.
Transformasi digital juga menuntut sang obor di tengah kegelapan untuk terus belajar, mereka mengikuti pelatihan, mencoba platform baru, hingga menata ulang metode mengajar. Adaptasi ini tidak mudah, namun ia melakukannya demi memastikan bahwa murid tetap mendapatkan pendidikan terbaik. Inilah bukti bahwa guru adalah pembelajar sejati yang tidak berhenti tumbuh.
Menghidupkan Nilai Keikhlasan
Keikhlasan adalah nilai yang melekat kuat dalam diri seorang pendidik, mereka mengajar bukan untuk pujian atau penghargaan, tetapi demi tumbuhnya generasi yang lebih baik. Walau kadang perjuangannya tidak terlihat, hasilnya sangat nyata dalam kehidupan murid-murid yang di bimbing, ketulusan itulah yang membuat profesi ini begitu mulia. Pengorbanannya sering tidak disadari: waktu yang tersita, tenaga yang terkuras, hingga pikiran yang tak berhenti memikirkan nasib siswa-siswi mereka. Namun dirinya memastikan tetap hadir dengan senyum, sehingga setiap anak merasa dilihat dan dihargai. Dalam diam mereka menyalakan semangat, dalam kelembutan mereka menguatkan jiwa.
Setiap saat kita diingatkan bahwa kualitas bangsa ditentukan oleh sang pencetak peradaban, ketika dihormati bangsa akan terangkat, ketika disejahterakan, ilmu akan berkembang dengan benar dan ketika dihargai, lahirlah generasi yang mengerti cara menghargai manusia lain. Sesungguhnya mereka adalah fondasi kemajuan dan penjaga nilai kemanusiaan, hal ini sejaran dengan tema tahun 2025 bahwa “Guru Hebat Indonesia kuat”.
Irfan Suba Raya
















