Oleh: Dr. Jumadi, S.Pd.I., M.Pd.I.
“Teknologi hanya alat, tapi nilai yang mengarahkannya berasal dari manusia yang berilmu.”
Kita hidup di masa ketika dunia ada di ujung jari, Informasi, hiburan, bahkan pendidikan dapat diakses dalam hitungan detik, akan tetapi kemudahan ini sering kali membawa tantangan baru yaitu banjir informasi, berita palsu, dan krisis nilai. Di sinilah pentingnya pendidikan literasi digital karena bukan sekadar kemampuan menggunakan perangkat, tetapi kemampuan berpikir kritis, etis, dan bertanggung jawab di ruang digital.
Literasi digital bukan hanya tentang tahu cara mengoperasikan komputer atau ponsel, tetapi bagaimana seseorang mampu memahami, menilai dan memanfaatkan informasi secara bijak. Menurut UNESCO (2021), literasi digital adalah “kemampuan untuk menggunakan teknologi secara bermakna, aman, dan etis.” Dalam konteks pendidikan, ini berarti membantu siswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan penyaring pengetahuan.
Fenomena hari ini bahwa kemajuan teknologi sering kali tidak diimbangi dengan kedewasaan dalam bermedia, banyak generasi muda yang lebih cepat membagikan informasi daripada memverifikasinya, Fenomena share before think membuat ruang digital dipenuhi oleh hoaks, ujaran kebencian dan disinformasi. Oleh karena itu guru dan pendidik harus berperan aktif menanamkan nilai literasi digital sejak dini dimulai dari critical thinking, empati digital, dan etika berkomunikasi.
Pendidikan literasi digital juga perlu berpijak pada nilai karakter bangsa dan ajaran agama, dalam pandangan Islam setiap kata yang keluar baik lisan maupun tulisan akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana dalam QS. Qaf/50:18.
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
Terjemahan
Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).
Berdasarkan ayat tersebut di atas bahwa setiap unggahan dan komentar di dunia maya adalah cerminan akhlak. Maka literasi digital yang ideal bukan hanya cerdas dalam teknologi, tetapi juga santun dalam interaksi.
Transformasi pendidikan di era digital menuntut kolaborasi antara guru, keluarga dan masyarakat, misalnya sekolah harus menjadi ruang aman bagi siswa untuk belajar teknologi secara etis, kemudian guru menjadi teladan literasi digital dan orang tua berperan sebagai pendamping di rumah. Dengan demikian pendidikan tidak hanya mempersiapkan generasi melek digital, tetapi juga berkarakter digital yaitu generasi yang mampu menyalurkan pengetahuan, membangun peradaban dan menjaga nilai kemanusiaan.
Di tengah derasnya arus informasi, literasi digital adalah kompas moral dan intelektual, ia menuntun kita agar tidak tersesat dalam dunia maya dan menjadikan teknologi sebagai sarana kebaikan.
Mendidik di era digital berarti membentuk manusia yang tidak hanya pandai mengetik dan mencari data, tetapi juga mampu berpikir kritis, beretika dan berjiwa luhur. Karena sejatinya, teknologi tanpa nilai akan kehilangan arah, dan literasi tanpa karakter akan kehilangan makna.
Irfaan Suba Raya














