Oleh : Muh. Afriansyah
Beberapa waktu terakhir, dunia pesantren kembalimenjadi topik hangat di ruang publik. Berbagai pandanganmulai dari kritik konstruktif hingga komentar tanpa dasardatang silih berganti. Sebagai seseorang yang tumbuhdan belajar di lingkungan pesantren, saya berusahamenyikapi semua itu dengan kepala dingin. Saya memilihuntuk tidak larut dalam hiruk-pikuk opini yang penuhemosi, melainkan berharap agar semua pihak dapatmelihat persoalan ini dengan kejernihan dan niat baik.Akan tetapi ketika sebuah kritik berubah menjadi tudingandan fitnah yang bernada menghina, terlebih jikamenyentuh kehormatan para kiai dan ulama, makadisanalah batas kesabaran itu diuji. Sebab dalam tradisipesantren, menghormati kiai dan ulama sebagai gurubukan sekadar etika sosial atau formalitas budaya, melainkan bagian dari menjaga kemurnian dankeberkahan ilmu yang diajarkan.
Dalam pandangan pesantren, adab bukan hanyasekumpulan aturan sopan santun yang bersifat lahiriahmelainkan sebuah inti dari pendidikan spiritual dankeilmuan. Santri belajar menundukkan kepala, menciumtangan, atau berjalan dengan penuh takzim di hadapankiai, bukan karena merasa rendah, tetapi karenamenyadari bahwa di balik ilmu ada dimensi cahaya (nur) yang tidak bisa diserap oleh hati yang sombong. Setiapgerak dan sikap itu adalah simbol kesadaran batin bahwailmu bukan semata hasil logika manusia, tetapi anugerahIlahi yang dititipkan melalui guru. Dalam konteks ini, penghormatan terhadap guru menjadi jalan untukmembersihkan hati agar pantas menerima ilmu yang membawa keberkahan.
Namun, tak bisa dimungkiri di tengah arus modernitasdan rasionalitas yang kian mendominasi cara berpikirmanusia, tradisi seperti ini sering disalahartikan. Ada yang melihatnya sebagai bentuk ketundukan berlebihan, bahkan menuduhnya sebagai praktik feodal atauperbudakan spiritual. Kritik semacam ini muncul dari sudutpandang yang terlalu sempit, dimana hanya menilai aspeklahiriah tanpa memahami kedalaman makna batiniahnya. Padahal jika kita menelusuri jejak sejarah Islam, perilakumenghormati guru memiliki akar kuat dalam kehidupanRasulullah SAW dan para sahabatnya.
Adab yang diterapkan di pesantren bukanlah tradisiyang lahir tanpa dasar. Ia tumbuh dari perpaduan antaraajaran agama dan kebijaksanaan lokal (‘urf) yang salingmenguatkan. Dalam hukum Islam sendiri, adab selaludikaitkan dengan adat, yang berarti nilai sosial yang baikdan dapat diterima masyarakat.
Oleh karena itu adab di pesantren bukan sekadar tradisi turun-temurun, melainkanmanifestasi nilai universal tentang rasa hormat, kesopanan, dan kerendahan hati yang menjadi bagian takterpisahkan dari akhlak seorang muslim.
Kita boleh berbeda pandangan tentang caramengekspresikan penghormatan terhadap guru, tetapiesensinya tetap sama bahwa ilmu tidak akan tumbuh di hati yang congkak. Adab kepada guru bukanlah bentukfeodalisme yang menindas, melainkan pilar peradabanyang menjaga agar ilmu tetap berfungsi untuk kebaikan, bukan untuk kesombongan melainkan sebagai bentukcinta terhadap yang dicintai. Masyarakat yang kehilanganadab, cepat atau lambat, akan kehilangan arah. Sebabhilangnya rasa hormat berarti hilangnya sumberkebijaksanaan.
Ketika dunia semakin gaduh olehperdebatan siapa yang paling benar, pesantren justrumengajarkan satu hal sederhana namun mendalam, bahwa sebelum ingin dimengerti, belajarlah terlebihdahulu untuk menghormati.
Pada akhirnya, tradisi takzim di hadapan kiai danulama bukanlah simbol kelemahan, melainkan lambangkedewasaan spiritual. Santri takzim bukan karena merasakecil, tetapi karena menyadari betapa luasnya samudrailmu dan betapa sedikitnya yang telah ia miliki. Dalampandangan seorang santri, ketinggian sejati justru terletakpada kemampuan untuk merendahkan hati. Sebabdihadapan ilmu, yang benar-benar tinggi hanyalahkerendahan hati itu sendiri.