Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
Opini

Demokrasi, Toleransi dan Integrasi di Kalangan SANTRI ;

17
×

Demokrasi, Toleransi dan Integrasi di Kalangan SANTRI ;

Sebarkan artikel ini

Menyambut Hari Santri 2025

Ada fenomena menarik dalam memperingati hari santri tahun 2025 ini, yaitu kemampuan kaum santri menjadi salah satu garda terdepan dalam mengawal dan menggerakkan bangsa ini. Kaum “sarungan” yang banyak berbasis pesantren tradisional ternyata sangat aktif dalam wacana dan gerakan demokratisasi, toleransi, bahkan juga nasionalisme dan hak asasi manusia. Padahal dalam kajian kitab fikih klasik yang dominan di pesantren tidak ada kajian khusus tentang issu-issu modernitas ini.

Example 500x700

Dalam beberapa situasi genting, seperti reformasi 1998 dan kisruh menjelang Pilkada DKI yang lalu, justru kaum santri dengan tradisi khasnya muncul sebagai pihak yang aktif meredam gejolak sosial politik yang sudah mengkhawatirkan dan di ambang perpecahan. Demikian juga di tengah maraknya aksi kekerasan, ujaran kebencian, pemaksaan pendapat dan intoleransi, maka kaum santri pula yang paling nyaring dalam menentangnya.

Ketika kelompok lain masih berkutat dalam perdebatan tentang dasar dan bentuk negara, maka kaum santri, terutama santri nahdliyin, sudah sepakat menjadikan Pancasila dan NKRI sebagai dasar dan bentuk negara. Kesepakatan ini tidak bisa diganggu gugat lagi karena diyakini Pancasila dan NKRI lah sebagai dasar dan bentuk negara yang dapat menyatukan bangsa yang sangat beragam ini. Mencintai dan mempertahankan NKRI, bagi kaum santri bukan hanya masalah politik duniawi tetapi juga bagian dari komitmen  keimanan. Oleh karena itu tidak aneh jika kaum santri sangat anti penjajahan dan sangat loyal pada NKRI. 

Bahkan di saat kelompok muslim lain tergagap dan kaget dengan issu-issu kemoderenan, maka kaum santri sudah terbiasa dengan wacana dan gerakan pemberdayaan  perempuan dan kaum marjinal, pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, egaliterianisme, penguatan civil society, hak asasi, kearifan lokal, toleransi antar umat beragama, anti radikalisme, hingga penerimaan kebinekaan dan negara kebangsaan berdasarkan Pancasila.

Santri dan Transformasi

Pertanyaannya mengapa kaum santri yang secara kultural dianggap tidak moderen ini, tradisi sarungan contohnya, mampu menjadi salah satu penentu dan penggerak perjalanan bangsa. Kenapa kaum santri bisa terbuka dengan ide-ide modernitas, bahkan mereka tampil jadi pegiat demokrasi, toleransi, dan kebangsaan, padahal tadinya mereka biasa terdidik dalam tradisi literatur abad tengah dan suasana desa yang tradisional.

Lompatan dari tradisionalisme menjadi post tradisionalisme ini – meminjam konsep Rumadi (2008) – memang tidak dapat dilepaskan dari sosok Gus Dur yang dapat mengembalikan NU dari politik praktis menjadi organisasi sosial kemasyarakatan. Gus Dur pula, tentu bersama kiyai-kiyai besar pada eranya, antara lain KH. Achmad Shiddiq dan KH. Ali Maksum, yang telah membina kader-kader muda nahdliyin dengan wacana intelektual progresif dan peduli gerakan kemasyarakatan.

Tradisi Kajian Kitab Kuning

Namun ada sisi lain yang patut diperhitungkan sebagai penentu kemampuan kaum santri dalam ikut menentukan arah gerak pembangunan bangsa ini yaitu tradisi pesantren, dan salah satu tradisi yang membentuk jiwa dan karakter santri di pesantren adalah kajian kitab kuning. 

Kitab kuning, atau kitab gundul, adalah satu rukun dari tiga rukun pesantren, setelah kiyai dan pondoknya. Kitab kuning yang biasanya diajarkan di pondok-pondok pesantren kaum nahdliyin ini umumnya ditulis oleh para ulama abad pertengahan. Kitab-kitab ini merupakan literatur  keislaman klasik yang menjadi sumber penting dan rujukan otoritatif dalam kajian keislaman para santri di pondok pesantren sampai saat ini. Literatur klasik berbahasa Arab tanpa harakat atau baris ini sangat kaya dengan wawasan kajian keislaman, metodologi pemikiran, pendapat ahli hukum dalam berbagai bidang, pandangan para teolog tentang berbagai keyakinan, ajaran-ajaran kaum sufi yang sarat dengan nilai kesucian, dan sebagainya. Oleh karena itu kajian dan upaya pemahaman ajaran Islam yang mendalam tidak bisa dipisahkan dari literatur-literatur keislaman klasik tersebut.

Tidak dapat dipungkiri, dalam prosesnya ajaran-ajaran kitab kuning yang diajarkan di pesantren atau madrasah inilah yang membentuk jiwa santri menjadi pribadi-pribadi unggul dengan karakter mulia, seperti ikhlas, bersyukur, ulet (sabar), mencari nilai ibadah dan mengejar barokah, hormat pada guru dan senior, hidup sosial dalam kebersamaan, menjaga kebersihan lahiriah dan batiniah (wara’), menanamkan sifat rendah hati (tawadu’) toleran (tasamuh) dan menghargai perbedaan (khilafiyah).

Para kyai pesantren meneladani ulama besar masa lalu yang telah mengajarkan dalam berbagai kitab karya mereka akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan, baik nilai akademis maupun praktis. Ketika mengeluarkan pendapat (fatwa) tentang suatu masalah, seorang ulama sering  menyebutkan pendapat para ulama lain lebih dahulu, baik pendapat yang sama atau yang berbeda, dari ulama era  sebelumnya atau yang sezaman dengannya. Setelah itu barulah ulama penulis kitab bersangkutan  memilih atau menetapkan pendapatnya sendiri.

Demikian pula dalam pengutipan (nukilan) pendapat seorang atau beberapa ulama selalu diikuti dengan penyebutan judul kitab yang dikutip. Ini membuktikan sejak dahulu para ulama sangat menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, kejujuran ilmiah dan pengakuan hak kekayaan intelektual orang lain serta mencela plagiarisme dan pemalsuan. Inilah nilai-nilai yang mulai tergerus dan menjadi keprihatinan dalam upaya pengembangan perguruan tinggi moderen saat ini.

Santri dalam Pusaran Toleransi dan demokrasi

Dalam kitab kuning tingkat menengah dan tinggi, khususnya di bidang hukum atau fikih, selalu diuraikan perbedaan pendapat secara tajam dan mendalam antara dua atau beberapa ulama yang berbeda. Namun berbagai pendapat yang bertentangan  tetap dipaparkan secara adil dan proporsional. Pihak pro dan kontra diberi ruang  argumentasi dan pembahasan secara seimbang.

Para ulama klasik, imam Nawawi dalam karyanya Minhajut Talibin atau al Majmu’ misalnya, sering memilih satu pendapat yang dinilainya kuat (rajih) atau lebih kuat (arjah), atau valid (muktabar) atau lebih jelas isa difat(azhar). Namun pendapat yang berseberangan tetap dipaparkan walau kemudian dinilai lemah (marjuh) tidak kuat (ghair mu’tamad)atau tidak bisa difatwakan. Demikian pula Imam Rafi’I yang sering berseberangan dengan imam al Nawawi, dalam kitabnya berjudul al Muharrar juga mengkritik dengan narasi sopan dan ilmiah.

Ulama fikih jarang sekali memvonis pendapat ulama fikih lain yang berbeda pendepat dengan ungkapan kasar dan tidak beradab, misalnya disebut pendapat sesat atau bid’ah atau kafir. 

Dengan paparan yang rinci, terbuka dan adil tersebut maka ulama penulis kitab kuning telah membuka ruang kebebasan pada pembacanya untuk menganalisis dan memilih sendiri mana pendapat yang terbaik dan terkuat argumentasinya dan paling maslahat sesuai tradisi dan kondisi lokalnya. Nilai-nilai demokratis inilah yang juga membentuk jiwa santri saat di pesantren maupun di tengah masyarakat sehingga siap menerima berbagai perbedaan dan perubahan. Kaum santri menjadi terbiasa dengan sikap moderat, toleran dengan perbedaan pendapat, menolak keras radikalisme, tidak  mudah terprovokasi, dan mampu hidup bersama dalam keanekaragaman.

Tidak berhenti pada adil dan seimbang saja, para ulama penulis kitab kuning juga tetap bersikap obyektif dan rendah hati dalam menyimpulkan atau menilai status hukum suatu persoalan. Walaupun suatu kesimpulan diyakini benar atau hukum yang diputuskan dianggap tepat, tetapi ulama fikih selalu mengingatkan bahwa kebenaran yang dibuat itu adalah tetap relatif (nisbi) dan bukan kebenaran absolut (mutlak). Di dalamnya tetap ada kemungkinan benar atau salah sehingga tetap ada ruang dialog untuk menerima atau menolak. Oleh karena itu pula maka kesimpulan yang dibuat tersebut tidak diklaim oleh mereka sebagai kebenaran universal yang pasti, melainkan kebenaran sebatas dalam pendapat mereka atau satu kelompok saja atau dalam tradisi lokal tertentu.

Adanya statemen al-ashahhu ‘indana (yang lebih benar menurut pendapat kami) di kalangan ulama besar, seperti Ibn Hajar al Haitami misalnya, atau mengatakan wallahu a’lam bisshawab (dan Allah yang paling mengetahui) saat menutup suatu pembahasan, jelas membuktikan para kyai berusaha obyektif dan selalu merendah dengan tidak mengklaim pendapat dan  pemahamannya sebagai satu-satunya kebenaran. Para ulama yang alim ini seolah ingin memberi pelajaran agar kita tidak egois memonopoli kebenaran sehingga tidak pantas memvonis salah atau sesat kepada pendapat atau kelompok lain yang berbeda. Kaum ulama intelektual ini ingin menekankan bahwa ajaran yang mereka rumuskan hanyalah hasil ijtihad penafsiran manusia yang kebenarannya relatif sedangkan kebenaran yang hakiki hanya dari Allah swt.

Nilai-nilai kesantunan, terbuka, dan rendah hati inilah yang membentuk jiwa kaum santri sehingga menjadi figur-figur yang moderat, toleran dan demokratis. Nilai-nilai inilah yang sangat penting dikembangkan  untuk membangun demokrasi, Integritas moral, kejujuran, komitmen, toleransi, dan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.

(Alamsyah, santri alumni pesantren kecil tradisional di kota Kuala Tungkal Jambi, Pengurus LP Ma’arif NU PBNU, Guru Besar UIN Raden Intan Lampung).

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *