
Makassar, 8 Oktober 2025 — Wacana pemerintah pusat untuk memangkas Dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 mendapat penolakan dari para kepala daerah. Sebanyak 18 gubernur dari berbagai provinsi hadir langsung dalam pertemuan dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyampaikan keberatan atas rencana tersebut.
Para gubernur menilai kebijakan pemangkasan dapat berdampak serius terhadap keberlangsungan program pembangunan daerah, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Adapun para gubernur yang hadir berasal dari berbagai wilayah seperti Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Sumatera Barat, dan Papua Pegunungan.
Menanggapi dinamika tersebut, akademisi FEB Unismuh Makassar Dr. Rendra Anggoro menilai bahwa kebijakan ini perlu dilihat secara objektif dan proporsional. Pemangkasan dana daerah memang menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan program di tingkat lokal, namun di sisi lain juga harus menjadi bahan introspeksi bagi pemerintah daerah dalam mengelola anggaran yang selama ini sering kali belum tepat sasaran.
Menurutnya, masih banyak daerah yang belum optimal dalam penggunaan dana transfer, di mana sebagian besar anggaran terserap pada belanja rutin dan operasional dibandingkan program pembangunan. Karena itu, langkah pemerintah pusat dapat dipahami sebagai bentuk evaluasi fiskal, selama dijalankan dengan transparan, adil, dan tidak mengganggu fungsi pelayanan publik.
“Persoalan ini tidak seharusnya dilihat sebagai pertentangan antara pusat dan daerah, tetapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki tata kelola keuangan publik. Pemerintah pusat perlu berhati-hati agar efisiensi tidak menghambat pelayanan, sementara pemerintah daerah juga perlu jujur mengevaluasi efektivitas belanjanya,” ujarnya.
Akademisi Unismuh Makassar tersebut menegaskan bahwa kunci utama penyelesaian persoalan ini terletak pada dialog dan kepercayaan fiskal antara pusat dan daerah. Kebijakan efisiensi harus dibarengi dengan mekanisme evaluasi berbasis kinerja, agar setiap rupiah yang disalurkan benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat.
“Hubungan fiskal yang sehat dibangun bukan melalui konfrontasi, tetapi melalui transparansi dan akuntabilitas bersama. Momentum ini seharusnya menjadi ruang refleksi bagi semua pihak untuk memperkuat manajemen keuangan publik dan mempercepat kemandirian fiskal daerah,” tutupnya.