MAKASSAR — Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, menuntut Salahuddin SR Sampetoding atau yang biasa disapa Annar Sampetoding dengan tuntutan delapan tahun penjara dalam kasus pencetakan uang palsu atau yang lebih dikenal dengan kasus Uang Palsu (Upal) UIN Alauddin Makassar.
Tuntutan dibacakan oleh Tim JPU dalm persidangan yang dipimpin oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sungguminasa, Dyan Martha Budhinugraeny sebagai hakim Ketua dan Sihabudin serta Yeni Wahyuni sebagai Hakim Anggota.
Namun, usai persidangan, Annar Sampetoding memberikan keterangan kepada wartawan bahwa tuntutan delapan tahun penjara atas dirinya tidak murni kesalahannya dalam kasus ini. Seharusnya dirinya dituntut bebas karena tidak memiliki keterkaitan dengan kasus Upal. Hanya saja, dirinya tidak mampu memenuhi permintaan oknum jaksa untuk membayar Rp5 miliar sehingga dirinya dituntut delapan tahun penjara.
Atas dasar itu, Komisi Kejaksaan (Komjak) Republik Indonesia memberikan respon atas pernyataan tersebut. Komjak mengaku siap turun untuk melakukan penyelidikan atas pengakuan Annar Sampetoding ini apabila yang bersangkutan mengajukan laporan resmi.
“Kami menunggu laporan resmi. Kalau sudah ada laporan resmi, kami akan turun,” ujar Anggota Komisi Kejaksaan RI, Muhammad Yusuf, Kamis, 27 Agustus 2025.
Menurut dia, pihaknya tidak bisa bergerak tanpa ada laporan resmi dari orang yang mengaku korban.
Sementara itu, kuasa hukum Annar Sampetoding, Dr H Sulthani SH MH, mengaku, klienya keberatan terhadap sejumlah media online yang memberikan Annar Sampetoding secara tidak benar, seolah menjustice sebelum adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Media sepatutnya memahami etika jurnalisme yang profesional dan santun.
Jangan terkesan menghakimi, jangan mendiskreditkan terdakwa. “Klien kami jelas tidak pernah menendang terdakwa lain saat menaiki kendaraan, klien kami bukan “Bos uang palsu,” katanya.
“Buatlah judul atau berita yang tidak merendahkan harkat dan martabat seseorang, sebab berpotensi masalah pidana IT. Apa yang membuat media tertentu membuat berita serampangan tanpa klarifikasi hak jawab kepada klien kami,” katanya.
Fakta persidangan, jelas dua, jelas-jelas tidak ada pengetahuan dan atau persetujuannya tentang pencetakan uang palsu. Klien kami tidak pernah menyuruh terdakwa lain melakukan perbuatan mencetak, mengedarkan, menyimpan, memberikan uang palsu kepada orang lain. Hanya karena kebetulan orang yang tingggal di rumah klien kami yang melakukan perbuatan upal. Akhirnya klien kami sangat dramatis dilibatkan. Apakah tokoh atau dikira banyak uangnya karena seorang pengusaha sehingga beritanya bisa viral. Wallahu a’lam,” katanya. (*)