Menyambut Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, Pengurus Fatayat NU Sulawesi Selatan menggelar pengajian khusus bertema “Makna Kemerdekaan Perempuan dalam Perspektif Islam” pada Sabtu, 16 Agustus 2025, di kediaman Hj. Anikawati (Pengurus Fatayat NU Sulsel) Jl. Hj. A. Djemma, Makassar.
Ceramah utama disampaikan oleh Prof. Dr. Fatmawati, S.Ag., M.Ag., (Guru Besar Fiqih Siyasah UIN Alauddin Makassar), yang juga menjabat sebagai Pengurus Muslimat NU Sulsel.
Dalam paparannya, Prof. Fatmawati, yang juga Ketua Lembaga Falakiyah PWNU Sulsel, menegaskan bahwa kemerdekaan yang hakiki bagi perempuan tidak sekadar terbebas dari penjajahan fisik, melainkan juga bebas dari penindasan, kebodohan, ketidakadilan, dan kekerasan. “Islam hadir sebagai agama pembebasan. Al-Qur’an mengajarkan hurriyah, yakni kebebasan yang dibingkai nilai-nilai ilahiyah, bukan kebebasan tanpa batas,” ujarnya.
Ia merujuk pada beberapa ayat Al-Qur’an, seperti QS. Al-Isra’ [17]:70 tentang kemuliaan seluruh anak Adam tanpa membedakan gender, QS. At-Taubah [9]:71 mengenai peran laki-laki dan perempuan sebagai penolong bagi sesama, serta QS. Al-Baqarah [2]:256 yang menegaskan prinsip “tidak ada paksaan dalam agama”.
Sekretaris PB DDI ini juga menekankan bahwa kemerdekaan perempuan berarti kebebasan yang bertanggung jawab, baik secara spiritual, intelektual, maupun sosial. “Perempuan punya hak berpendidikan, bekerja, berpendapat, dan berperan di ruang publik. Islam bahkan melarang segala bentuk kezaliman, termasuk kekerasan dalam rumah tangga,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menguraikan prinsip Islam dalam memerdekakan perempuan, yakni keadilan, kasih sayang, partisipasi, dan perlindungan. Sejumlah tokoh perempuan dalam sejarah Islam dan Indonesia seperti Khadijah, Aisyah, Nusaibah, sebagai teladan.
Dalam konteks kebangsaan, Prof. Fatmawati mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia juga menjamin kesetaraan hak perempuan melalui UUD 1945 Pasal 28D serta berbagai regulasi, termasuk UU TPKS No. 12/2022. Namun, ia mengingatkan masih adanya tantangan “penjajahan baru” terhadap perempuan, seperti kekerasan berbasis gender, diskriminasi publik, eksploitasi ekonomi, hingga kekerasan digital.
“Fatayat NU harus hadir sebagai agen kemerdekaan perempuan melalui edukasi, advokasi, dan teladan. Strategi perjuangan harus ditempuh dengan jihad non-kekerasan: dakwah, pemberdayaan, dan solidaritas sesama perempuan,” pungkasnya yang juga selaku anggota Komisi PRK MUI Sulsel.
Acara ini ditutup dengan ajakan Prof. Fatmawati agar kemerdekaan perempuan dijadikan jalan untuk memperkuat keluarga, masyarakat, dan bangsa. “Memerdekakan perempuan berarti memerdekakan bangsa,” tutupnya.
Irfan Suba Raya