Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pemuda , Mahasiswa dan Agrefitasnya (Membaca Konflik Pemuda dan Mahasiswa di Makassar) 

10
×

Pemuda , Mahasiswa dan Agrefitasnya (Membaca Konflik Pemuda dan Mahasiswa di Makassar) 

Sebarkan artikel ini

Beberapa hari terakhir, jagat maya Makassar dihebohkan oleh beredarnya spanduk yang menyerukan perang antar kelompok pemuda.  Bayangan kekerasan dan luka sosial yang lebih dalam pun kembali menghantui.  Ironisnya, ini bukan kejadian pertama.  Kita kerap menyaksikan tindakan-tindakan diluar nalar kemanusiaan, bahkan untuk hal-hal sepele.  Kejadian ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita semua, khususnya bagi mahasiswa sebagai kaum intelektual.

Mengapa mahasiswa, yang idealnya menjadi agen perubahan, justru terlibat dalam tindakan yang merusak tatanan sosial?  Perilaku ini tidak hanya mencerminkan kegagalan sistem pendidikan, tetapi juga menunjukkan adanya permasalahan yang lebih dalam.  Teori Konrad Lorenz tentang penumpukan energi internal yang memicu tindakan destruktif mungkin bisa menjadi salah satu penjelasannya.  Namun, lebih dari itu, kita perlu melihat konteks sosial dan budaya yang membentuk perilaku ini.

Example 500x700

Mahasiswa, yang seharusnya terbiasa berpikir kritis dan rasional, justru terjebak dalam pusaran agresi komunal.  Antusiasme militan, yang berakar pada naluri pertahanan kelompok, tampaknya lebih dominan daripada nalar.  Situasi ini diperparah oleh era sibernetik yang rentan terhadap manipulasi.  Propaganda, iklan, dan pengkondisian digital dapat membentuk persepsi dan perilaku, bahkan tanpa disadari.  Akibatnya, mahasiswa merasa kehilangan makna, takut akan masa depan, dan terjebak dalam siklus manipulasi.

Kejadian ini bukan sekadar masalah individu, melainkan cerminan sistemik.  Kita perlu introspeksi: apakah sistem pendidikan kita telah berhasil menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan berpikir kritis?  Apakah mahasiswa mendapatkan ruang yang cukup untuk menyalurkan energi dan aspirasinya secara konstruktif?  Apakah kita telah berhasil melindungi mereka dari pengaruh negatif era digital?

Solusi bukan hanya sebatas penindakan hukum.  Kita perlu pendekatan holistik yang menekankan pada pengembangan karakter, pendidikan nilai-nilai kemanusiaan, dan penyediaan wadah bagi mahasiswa untuk berkarya dan berinovasi.  Mahasiswa perlu diarahkan untuk menjadi agen perubahan melalui riset dan inovasi, bukan melalui kekerasan.  Mari kita dorong mereka kembali ke laboratorium, ke ruang-ruang diskusi ilmiah, untuk menciptakan solusi, bukan menambah masalah.  Saatnya meninggalkan perilaku “bar-bar” dan membangun Makassar yang lebih damai dan beradab.  Kampus harus menjadi benteng peradaban, bukan ladang perang.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *